
Pantau - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Aimah Nurul Anam, menyoroti persoalan serius dalam industri gula nasional, mulai dari penumpukan stok di pabrik, kebocoran distribusi gula rafinasi, hingga kebijakan impor yang dinilai merugikan petani dan pabrik gula rakyat.
Penumpukan Stok Gula dan Kebocoran Distribusi
Dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Jakarta, Rabu (4/9/2025), Mufti mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi industri gula di daerah pemilihannya, khususnya di Pabrik Gula Jatiroto, Jawa Timur.
“Hari ini di Pabrik Gula Jatiroto, termasuk pabrik gula di Jawa Timur, stok gula menumpuk dan tidak bisa keluar karena pasar dibanjiri gula rafinasi. Ini jelas merugikan petani dan pabrik gula rakyat,” ungkapnya.
Gula rafinasi yang semestinya hanya digunakan untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, faktanya bocor ke pasar ritel.
Akibat kebocoran tersebut, gula produksi petani tidak terserap, stok menumpuk, dan harga anjlok di tingkat pabrik.
Menurut laporan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), serapan gula petani pada musim giling 2024–2025 turun hingga 20 persen akibat peredaran gula rafinasi di pasar.
Harga gula petani hanya berkisar Rp11.000–Rp11.500 per kilogram, jauh di bawah harga acuan penjualan pemerintah (HAP) sebesar Rp12.500 per kilogram.
Mufti meminta pemerintah segera menetapkan mekanisme stok dan distribusi gula rafinasi yang lebih ketat.
“Pertanyaan kami, kapan gula rafinasi ini distop? Kalau tidak, petani kita akan semakin terpuruk karena hasil panen mereka tidak terserap,” tegasnya.
Ia juga menilai skema buffer stock yang dijalankan oleh pemerintah daerah tidak bisa terus diandalkan karena keterbatasan fiskal.
“Tidak seterusnya daerah punya duit yang cukup untuk mengatasi persoalan ini. Pemerintah pusat harus hadir,” ia mengungkapkan.
Impor Etanol dan Ketidaksinkronan Kebijakan
Mufti juga mengkritik kebijakan impor etanol yang dinilai kontraproduktif dan membingungkan, terutama karena perbedaan sikap antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
“Kami membaca pernyataan Kementerian Perindustrian yang mengaku kaget dengan kebijakan impor etanol. Padahal di dalam negeri, pabrik gula memiliki banyak etanol yang tidak terserap. Ini menghambat produksi mereka,” ujarnya.
Menurut data Gabungan Industri Hasil Tebu Indonesia, kapasitas produksi etanol nasional mencapai 450 juta liter per tahun, namun tingkat serapan domestik hanya 60–65 persen.
Pemerintah dinilai belum optimal dalam mendorong pemanfaatan etanol sebagai energi terbarukan maupun untuk kebutuhan industri.
Mufti meminta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ikut mengawasi praktik curang dalam perdagangan gula dan etanol karena dampaknya langsung dirasakan oleh konsumen.
Ia menilai praktik mafia gula menyebabkan harga gula di tingkat konsumen menjadi tidak stabil dan memberatkan masyarakat.
Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Agustus 2025 menunjukkan harga rata-rata gula konsumsi mencapai Rp17.200 per kilogram, jauh di atas harga acuan.
“Kondisi ini membuktikan bahwa kebocoran gula rafinasi tidak hanya menekan petani, tetapi juga gagal menurunkan harga di pasar,” tambahnya.
“Jelas mafia pangan bermain. Rakyat menjerit karena harga tinggi, petani rugi karena hasilnya tidak terserap. Negara harus tegas, jangan biarkan mafia menguasai rantai pangan kita,” pungkasnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf