Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Kementan Imbau Peternak Perkuat Biosekuriti untuk Cegah African Swine Fever

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Kementan Imbau Peternak Perkuat Biosekuriti untuk Cegah African Swine Fever
Foto: Ilustrasi - Petugas sedang mengambil sampel babi untuk diperiksa terkait temuan Singapura yang menyatakan babi asal Pulau Bulan, Batam terkena flu babi Afrika (sumber: Kementan)

Pantau - Kementerian Pertanian (Kementan) mengingatkan para peternak babi di Indonesia agar memperketat biosekuriti guna mencegah penyebaran African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika yang kasusnya tengah meningkat di kawasan Asia Pasifik.

Ancaman ASF dan Langkah Kementan

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementan, Agung Suganda, menyatakan ASF merupakan ancaman serius bagi populasi babi sehingga diperlukan deteksi dini, pelaporan cepat, serta kolaborasi berbagai pihak.

"Kami mendorong pemerintah daerah, petugas kesehatan hewan, dan peternak untuk meningkatkan kewaspadaan. Biosekuriti ketat adalah kunci pencegahan, dan setiap kasus yang mencurigakan harus segera dilaporkan melalui iSIKHNAS agar bisa ditangani cepat," ungkap Agung.

Kementan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 8492 tanggal 19 Agustus 2025 terkait kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi peningkatan kasus ASF di Asia Pasifik.

"Langkah ini diambil menyusul laporan adanya lonjakan kasus ASF di beberapa negara, termasuk China, Vietnam, hingga Kamboja dan Malaysia," ujar Agung.

SE tersebut ditujukan kepada dinas peternakan provinsi, kabupaten/kota, otoritas veteriner, asosiasi, dan organisasi profesi dokter hewan sebagai pedoman penanganan.

Penguatan Pengawasan dan Biosekuriti

Daerah diminta menyiapkan rencana aksi pengendalian dan mitigasi risiko, melakukan profiling peternak, pedagang, dan pengepul babi, serta memetakan jalur distribusi ternak untuk mendukung deteksi dini.

Kementan juga menekankan agar pengawasan kesehatan babi diperketat, gejala dilaporkan melalui iSIKHNAS, dan surveilans berbasis risiko diterapkan terutama di wilayah dengan populasi babi yang padat.

"Jika ditemukan kasus, petugas diminta segera investigasi, mengambil sampel, dan mengirimnya ke laboratorium resmi agar penanganan lebih cepat dan tepat," kata Agung.

Biosekuriti di tingkat kandang ditekankan, seperti disinfeksi rutin, pembatasan lalu lintas orang maupun barang, serta penerapan prosedur kebersihan sesuai standar.

Selain itu, lalu lintas babi dan produk turunannya dari wilayah tertular dilarang, termasuk pemindahan bibit ke daerah bebas ASF.

Setiap babi yang dilalulintaskan wajib diperiksa klinis, dilengkapi Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang sah, bahkan diuji laboratorium bila diperlukan.

Apabila ada babi mati, peternak diwajibkan segera mengisolasi, melakukan disposal, serta mendisinfeksi kandang sesuai SOP.

Kementan juga menegaskan area dengan kasus ASF bisa ditutup sementara guna mencegah penyebaran antar peternakan.

Peternak diwajibkan mematuhi larangan penggunaan hormon sintetik, antibiotik, dan obat-obatan tertentu dalam budidaya.

Pentingnya Data dan Koordinasi

Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan, Hendra Wibawa, menekankan pentingnya kedisiplinan dalam pelaporan data untuk mendukung kebijakan pengendalian ASF.

"Kami juga mendorong penggunaan iSIKHNAS secara disiplin. Tanpa data yang benar dan real-time, kebijakan pengendalian tidak bisa tepat sasaran," ujar Hendra.

Saat ini, kasus ASF masih ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatera Utara, meski jumlah pastinya belum dirinci.

"Kementan berharap semua pihak bisa memperkuat koordinasi dan mempercepat respon di lapangan," kata Hendra.

Penulis :
Shila Glorya