
Pantau - Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR) menilai kebijakan pemangkasan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 berpotensi melemahkan pelaksanaan otonomi daerah dan menciptakan ketimpangan fiskal yang lebih luas antarwilayah di Indonesia.
Aktivis KATAR, Sugiyanto, menyatakan bahwa pemotongan drastis TKD hingga 29,34 persen dari tahun sebelumnya merupakan kebijakan yang tidak adil dan berisiko besar bagi kemampuan fiskal pemerintah daerah.
"Artinya, terjadi penurunan alokasi dana transfer sebesar sekitar Rp267 triliun dari tahun sebelumnya. Ini pemangkasan hingga 29,34 persen yang jelas akan berdampak luas bagi daerah," ujarnya.
Rasio Belanja 75:25 Dinilai Adil dan Realistis
Sugiyanto menyampaikan bahwa dalam tiga tahun terakhir, komposisi belanja negara antara pusat dan daerah yang ideal adalah 75 persen untuk pemerintah pusat dan 25 persen untuk daerah.
"Rasio 75:25 antara belanja pusat dan daerah terbukti logis, realistis dan berkeadilan. Ini merupakan bentuk keseimbangan fiskal antara efisiensi nasional dan kebutuhan fiskal daerah yang harus dijaga," jelasnya.
Ia merinci bahwa dalam APBN 2023, belanja negara sebesar Rp3.041,7 triliun, dengan TKDD Rp811,7 triliun (26,58 persen).
Kemudian dalam APBN 2024, alokasi TKDD Rp857,6 triliun atau 25,79 persen dari total belanja negara Rp3.325,1 triliun.
Pada APBN 2025, TKDD tercatat Rp919,9 triliun (25,40 persen) dari total belanja Rp3.621,3 triliun.
Namun, dalam APBN 2026, alokasi TKD hanya Rp693 triliun atau 18,03 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.842,7 triliun, sementara belanja pemerintah pusat melonjak menjadi Rp3.149,7 triliun atau 81,95 persen.
Pemangkasan Dinilai Bertentangan dengan Semangat Konstitusi
Sugiyanto menegaskan bahwa TKD bukan merupakan bentuk subsidi dari pusat, melainkan bagian dari prinsip keadilan fiskal dan pelaksanaan desentralisasi yang diatur dalam UUD 1945 serta UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).
Menurutnya, pemotongan dana transfer dalam jumlah besar akan sangat memengaruhi kemampuan daerah dalam menjalankan pelayanan publik, membayar gaji ASN, dan membiayai pembangunan infrastruktur dasar.
"Kalau dana transfer dipangkas sedalam itu, daerah akan kesulitan menjaga keberlanjutan pelayanan publik. Ini berisiko menambah ketimpangan fiskal antarwilayah dan bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan," tegasnya.
Dukung Peninjauan Ulang APBN oleh APPSI
Sugiyanto memahami bahwa pemerintah pusat memiliki kebutuhan anggaran besar untuk program prioritas nasional seperti ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, hingga makan bergizi gratis.
Namun, menurutnya, hal itu tidak boleh mengorbankan fiskal daerah.
"Menjaga komposisi 75 persen untuk pusat dan 25 persen untuk daerah adalah bentuk keadilan fiskal yang sehat. Kalau porsi untuk daerah turun hanya 18 persen, itu jelas tidak seimbang dan bisa melemahkan semangat otonomi daerah," ujarnya.
Ia juga menyatakan dukungan terhadap langkah sejumlah gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) untuk mengajukan peninjauan ulang kebijakan TKD 2026 kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
"Kami berharap pemerintah pusat mendengarkan aspirasi daerah. Jangan pangkas TKD karena menjaga rasio 75:25 berarti menjaga amanat konstitusi, memperkuat otonomi daerah, dan menjamin pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia," tutup Sugiyanto.
- Penulis :
- Aditya Yohan