Tampilan mobile
FLOII Event 2025 - Paralax
ads
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Runtuhnya Mushala Al-Khoziny Sorotkan Kontras Pandangan Dunia Pesantren dan Dunia Digital

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Runtuhnya Mushala Al-Khoziny Sorotkan Kontras Pandangan Dunia Pesantren dan Dunia Digital
Foto: (Sumber: Keluarga korban meratapi peti jenazah korban runtuhnya bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, di Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (7/10/2025). .)

Pantau - Musibah runtuhnya mushala santri putra di Pondok Pesantren (PP) Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi saat Shalat Asar berjamaah pada Senin, 29 September 2025, menimbulkan sorotan tajam dari dua sudut pandang berbeda: dunia pesantren dan dunia digital.

Peristiwa tragis ini bukan hanya menjadi isu keselamatan bangunan, tetapi juga membuka perdebatan tentang nilai dan tradisi yang berkembang di lingkungan pesantren.

Dunia pesantren dikenal memiliki akar tradisi yang kuat, sederhana, spiritual, dan menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan santri.

Sebaliknya, dunia digital cenderung berbasis pada rasionalitas, teknologi, serta modernitas yang menilai segala sesuatu dari segi legalitas dan efisiensi.

Tradisi Ro’an: Pendidikan Karakter atau Eksploitasi?

Salah satu titik perbedaan mencolok muncul dalam menilai tradisi Ro’an, atau kerja bakti bersama yang lazim dilakukan di pesantren.

Bagi masyarakat pesantren, Ro’an adalah bagian dari pendidikan karakter yang menanamkan nilai gotong royong, kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian sosial.

Ro’an juga diyakini sebagai bentuk tabarrukan, yaitu upaya spiritual untuk memperoleh keberkahan hidup melalui pengabdian dan pelayanan kepada pesantren.

Tradisi ini dimaknai sebagai pelengkap bagi kecakapan santri yang tidak hanya harus cerdas secara intelektual, tetapi juga berkah secara spiritual.

Namun, dari sudut pandang dunia digital, kegiatan seperti Ro’an bisa dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak-anak jika mereka dilibatkan dalam pekerjaan fisik berat, terlebih jika berada di luar batas usia kerja yang legal.

Pandangan ini kerap viral sebagai kritik terhadap sistem pesantren yang dianggap mengabaikan aspek perlindungan anak dan keselamatan kerja.

"Dunia digital yang mengedepankan kuantitas akan selalu menggunakan peluru digital untuk menembak personal sebagai bukti formalitas, sedangkan dunia pesantren yang mengedepankan kualitas akan selalu mencari solusi atau hikmah untuk pelajaran moral dan spiritual," menjadi salah satu refleksi atas perbedaan mendasar dalam menyikapi musibah tersebut.

Dengan demikian, tragedi mushala Al-Khoziny menjadi titik temu sekaligus titik pisah antara dua dunia yang melihat realitas dengan cara berbeda—antara nilai spiritual-budaya yang mendalam dan pendekatan modern yang berbasis logika serta teknologi.

Penulis :
Ahmad Yusuf