
Pantau - Setiap tanggal 28 Oktober, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda, mengingat kembali momen bersejarah pada 1928 ketika para pemuda dari berbagai daerah menyatakan ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Ikrar ini menjadi simbol penolakan terhadap sekat-sekat kedaerahan dan kolonialisme, sekaligus tonggak awal lahirnya kesadaran nasional yang menyatukan perjuangan menuju kemerdekaan.
Semangat tersebut juga tercermin dari kiprah pemuda Indonesia yang belajar di luar negeri, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Nazir Datuk Pamoentjak di Belanda, yang turut memelopori perlawanan diplomatik dan intelektual terhadap penjajahan.
Pemuda Diaspora dan Tantangan Kolonialisme Gaya Baru
Hampir satu abad berlalu, pemuda Indonesia kembali tersebar di seluruh dunia, namun kini menghadapi bentuk kolonialisme baru berupa:
- Ketergantungan ekonomi
- Dominasi budaya asing
- Ketimpangan global
Dalam konteks inilah, semangat Sumpah Pemuda perlu dimaknai ulang — bukan hanya sebagai nasionalisme geografis, tetapi sebagai bagian dari identitas global citizenship yang aktif membela kepentingan bangsa di kancah internasional.
Pemuda Indonesia di luar negeri tidak lagi sekadar pelajar atau pekerja migran, melainkan duta nilai-nilai bangsa yang berperan memperkuat posisi Indonesia secara global.
Data Kementerian Luar Negeri mencatat lebih dari sembilan juta warga Indonesia tinggal di luar negeri, mayoritas di antaranya adalah generasi muda.
Mereka menempuh pendidikan di universitas-universitas internasional, bekerja di perusahaan global, serta aktif di sektor teknologi dan ekonomi kreatif.
Banyak dari mereka telah menjadi:
- Ilmuwan di laboratorium riset Eropa
- Animator di studio film Hollywood
- Pendiri startup di Singapura dan Dubai
Kiprah mereka membawa narasi baru bahwa Indonesia adalah bangsa yang kreatif dan kompetitif di panggung global.
Dari Brain Drain ke Brain Network: Peran Negara dan Kolaborasi
Tantangan terbesar saat ini adalah menjaga hubungan emosional dan profesional dengan para pemuda diaspora agar tetap terhubung dengan Indonesia.
Kekhawatiran terhadap fenomena brain drain seharusnya diubah menjadi strategi membangun brain network — jejaring pengetahuan dan potensi global yang dimiliki diaspora.
Negara-negara seperti Korea Selatan, India, dan China telah membuktikan bahwa diaspora dapat menjadi jembatan inovasi, investasi, dan transfer teknologi yang strategis.
Indonesia sendiri telah memulai langkah ke arah itu melalui pembentukan Indonesian Diaspora Network (IDN) pada tahun 2012.
Namun untuk mengoptimalkannya, ekosistem diaspora ini perlu diperkuat melalui kolaborasi antara:
- Pemerintah
- Institusi pendidikan tinggi
- Komunitas diaspora muda
Alih-alih hanya menyerukan mereka untuk “pulang”, negara seharusnya membuka ruang kontribusi yang luas dari mana pun mereka berada.
Dengan begitu, semangat Sumpah Pemuda akan terus hidup — tak hanya dalam sejarah, tapi dalam kerja nyata lintas batas untuk kejayaan Indonesia.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Aditya Yohan










