
Pantau - Kanker payudara masih menjadi penyebab utama kematian perempuan di Indonesia, namun pendekatan multidisiplin kini dinilai sebagai harapan baru dalam penanganan kasus stadium lanjut.
Para pakar menegaskan pentingnya deteksi dini serta kolaborasi lintas disiplin dalam menurunkan angka kematian akibat kanker payudara.
"Kanker payudara sering terdeteksi saat sudah stadium lanjut karena tidak ada gejala yang dirasakan pasien. Padahal, jika rutin melakukan SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dan mammografi setahun sekali setelah usia 40 tahun, kanker dapat ditemukan lebih dini dan peluang sembuhnya jauh lebih besar," ujar dr. Agnes, Kepala Departemen Medical Check Up MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dalam diskusi media memperingati Bulan Kepedulian Kanker Payudara di Jakarta, Selasa (28 Oktober 2025).
Tantangan Deteksi Dini dan Akses Alat Mammografi
Data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022 menunjukkan terdapat 2,3 juta kasus baru kanker payudara setiap tahun secara global, dengan 666 ribu kematian.
Di Indonesia sendiri, ada sekitar 400 ribu kasus kanker baru setiap tahun, dan 240 ribu di antaranya meninggal dunia.
Jika tidak ada langkah serius dalam deteksi dini dan pencegahan, jumlah kasus di Indonesia diperkirakan meningkat lebih dari 70 persen pada tahun 2050.
"Mammografi dapat mendeteksi tumor berukuran sangat kecil, bahkan hingga 0,2 milimeter. Namun tantangan kita masih banyak, mulai dari keterbatasan alat dan tenaga medis, hingga mitos bahwa mammografi itu menyakitkan atau bisa menyebabkan kanker menyebar," jelas dr. Nina I.S.H. Supit, Kepala Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi.
Ia menambahkan bahwa teknologi mammografi kini telah berkembang pesat, termasuk dengan penggunaan tomosintesis.
"Dengan alat tomosintesis terbaru yang dilengkapi sensor canggih dan kecerdasan buatan, proses pemeriksaan menjadi lebih cepat, nyaman, dan minim radiasi. Pasien tidak perlu khawatir," katanya.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, menyatakan bahwa deteksi dini menjadi fokus dalam Rencana Aksi Nasional Kanker 2024–2034.
"Dari sekitar 3.000 rumah sakit di Indonesia, baru sekitar 200 yang memiliki alat mammografi. Pemerintah berkomitmen agar setiap rumah sakit provinsi memiliki alat ini, sekaligus memperluas akses USG payudara di puskesmas," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi untuk mengubah perilaku masyarakat.
"Banyak pasien yang datang terlambat karena takut, merasa pemeriksaan memalukan, atau lebih dulu mencari pengobatan alternatif. Kami mendorong perempuan untuk berani melakukan pemeriksaan SADARI dan SADANIS agar kanker dapat ditemukan sejak dini," jelasnya.
Kolaborasi Lintas Disiplin Tingkatkan Harapan Hidup
Pendekatan multidisiplin disebut sebagai elemen penting dalam pengobatan kanker payudara stadium lanjut.
DR. dr. Andhika Rahman, SpPD-KHOM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Hematologi Onkologi Medik MRCCC, menjelaskan bahwa pendekatan ini melibatkan kolaborasi dari berbagai bidang medis seperti onkologi, radiologi, bedah, psikologi, dan nutrisi.
"Pada stadium lanjut, pengobatan tidak lagi hanya fokus pada tumor, tetapi juga pada upaya mengontrol penyebaran penyakit, mengurangi gejala seperti nyeri atau sesak, serta mempertahankan fungsi organ dan kualitas hidup pasien. Pendekatan multidisiplin memungkinkan tim medis menyeimbangkan efektivitas terapi dengan kenyamanan pasien," terangnya.
Model perawatan ini telah menjadi standar di berbagai rumah sakit besar dunia dan kini mulai diterapkan di Indonesia.
"Kolaborasi lintas disiplin memberikan harapan baru bahwa pasien kanker payudara stadium lanjut tetap bisa hidup dengan kualitas yang baik, bahkan produktif," tutup Andhika.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf









