
Pantau - Pemerintah Indonesia memastikan bahwa prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance / ESG) menjadi bagian integral dalam kebijakan transisi energi nasional, demi mendorong keberlanjutan dan kemandirian energi jangka panjang.
Tata Kelola dan Regulasi Jadi Fondasi Investasi
Tenaga Ahli Menteri ESDM, Satya Hangga Yudha Widya Putra, menyampaikan bahwa setiap proyek energi baru dan terbarukan (EBT) wajib mengikuti prosedur tata kelola yang ketat, termasuk memiliki dokumen Amdal dan izin lingkungan.
Ia menekankan bahwa sektor energi merupakan kerja lintas sektoral yang membutuhkan koordinasi kuat, terutama dari Dewan Energi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Presiden dan Menteri ESDM sebagai Ketua Harian.
Satya menyebutkan bahwa regulasi yang jelas dan tegas menjadi kunci agar investor mau menanamkan modalnya dalam proyek-proyek energi bersih di Indonesia.
"Tanpa peraturan dan regulasi yang jelas, investor akan enggan berinvestasi," ujarnya.
Transisi Energi Harus Berkeadilan dan Inklusif
Pada aspek sosial, Satya menegaskan bahwa proyek EBT harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
"Harapannya, proyek EBT bisa membuat kebahagiaan dan melibatkan semua lapisan masyarakat," ungkapnya.
Manfaat tersebut diwujudkan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), seperti pemberian kesempatan kerja, alih pengetahuan, dan transfer teknologi ke komunitas lokal.
Di sisi lingkungan, pemerintah menargetkan pengurangan ketergantungan terhadap pembangkit diesel, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), sebagai langkah strategis dalam mempercepat transisi energi bersih dan merata.
Satya juga memaparkan visi Just Energy Transition (JET) yang menekankan pentingnya keadilan energi di tengah bonus demografi Indonesia, sehingga akses energi bersih dapat dinikmati seluruh kalangan secara inklusif.
Target 60 Persen EBT dalam RUPTL 2025–2034
Pemerintah berkomitmen meningkatkan bauran energi terbarukan dengan memanfaatkan berbagai sumber EBT seperti surya, bayu, panas bumi, air, nuklir, bioenergi, hingga sampah.
Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, ditargetkan bahwa 60 persen tambahan kapasitas listrik nasional berasal dari pembangkit EBT.
Sebagai negara berkembang, Satya menyebut pentingnya menjaga keseimbangan antara tiga pilar utama energi: keterjangkauan (affordability), aksesibilitas (accessibility), dan ketersediaan (availability).
Ia menambahkan bahwa peralihan ke EBT merupakan solusi konkret terhadap risiko krisis energi akibat ketidakstabilan geopolitik global.
Satya juga menyoroti tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak dan LPG, yang menjadikan Indonesia rentan terhadap gejolak internasional.
"Apabila kita menggunakan EBT seperti surya, hidro, panas bumi, sampah, itu kan sumber alternatif yang bisa diakses terlepas apapun yang terjadi di luar," jelasnya.
Dengan mempercepat transisi ke energi bersih, pemerintah berharap Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri secara energi dan tidak lagi bergantung pada pasokan luar negeri.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Tria Dianti










