
Pantau - Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, menegaskan bahwa akar ketimpangan gender di Indonesia berasal dari kondisi ekonomi yang lemah serta budaya patriarki yang masih mengakar kuat dalam masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikan Veronica dalam diskusi Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) lintas kementerian dan lembaga di Jakarta, Selasa, 4 November 2025.
"Dalam banyak kasus kekerasan dan perdagangan orang, akar masalahnya selalu ekonomi. Perempuan di daerah terpaksa mencari jalan keluar lewat jalur berisiko, karena tidak punya pilihan ekonomi," ungkapnya.
Perempuan Aktif Bekerja tapi Tidak Diakui sebagai Pekerja Formal
Veronica mencontohkan pengalamannya saat berkunjung ke Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga melalui kegiatan menenun, beternak, dan bertani.
Meski aktif bekerja, status mereka tetap tidak diakui secara formal karena dalam KTP hanya tercantum sebagai ibu rumah tangga.
“Perempuan sudah bekerja, tapi sistem tidak mengakui. Mereka tidak bisa mengakses bantuan, karena syarat administrasi tidak memadai,” ujarnya.
Akibatnya, banyak program bantuan pemerintah seperti perhutanan sosial, pemberdayaan sosial, dan UMKM tidak tepat sasaran karena penerima tidak tercatat sebagai pekerja formal.
Budaya Patriarki Hambat Partisipasi Perempuan
Selain masalah ekonomi, Veronica juga menyoroti hambatan sosial-budaya sebagai faktor lain yang menghalangi partisipasi perempuan di ruang publik.
“Banyak perempuan diajarkan menerima saja, tidak berani bicara. Padahal, mereka adalah penggerak ekonomi nyata di desa,” katanya.
Ia menilai bahwa solusi atas ketimpangan gender harus bersifat sistemik dan mencakup perubahan regulasi serta cara pandang terhadap peran perempuan.
“Kalau akar masalahnya ekonomi dan budaya, solusi harus sistemik. Kita harus ubah cara pandang dan regulasinya sekaligus,” tegas Veronica.
- Penulis :
 - Aditya Yohan
 - Editor :
 - Tria Dianti
 








