Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Fitnah Tempo tentang Isu Pembungkaman Pers Tidak Terbukti, Kuasa Hukum: “Mentan Amran Menegakkan Kepatuhan Hukum, Tempo Janga

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Fitnah Tempo tentang Isu Pembungkaman Pers Tidak Terbukti, Kuasa Hukum: “Mentan Amran Menegakkan Kepatuhan Hukum, Tempo Janga
Foto: (Sumber : Kuasa Hukum Mentan, Chandra Muliawan, menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh Kementerian Pertanian (Kementan) sama sekali tidak bertujuan membatasi kebebasan pers. Gugatan tersebut, kata dia, murni berangkat dari ketidakpatuhan Tempo terhadap Putusan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers..)

Pantau - Jakarta, Tuduhan Media Tempo yang menyebut gugatan perdata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebagai bentuk “pembungkaman kebebasan pers pada masa pemerintahan Prabowo Subianto” dipastikan tidak terbukti dan berdasar.

Kuasa Hukum Mentan, Chandra Muliawan, menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh Kementerian Pertanian (Kementan) sama sekali tidak bertujuan membatasi kebebasan pers. Gugatan tersebut, kata dia, murni berangkat dari ketidakpatuhan Tempo terhadap Putusan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers.

Chandra menyebut bahwa tuduhan Tempo bukan hanya keliru, tetapi juga telah membangun kesan publik yang menyesatkan.

“Fitnah bahwa gugatan ini adalah pembungkaman pers tidak terbukti. Gugatan ini murni soal ketidakpatuhan Tempo terhadap PPR Dewan Pers. Itu yang harus diluruskan,” tegasnya.

Menurut Chandra, Kementan mengajukan pengaduan atas konten motion graphic dan infografik Tempo yang dinilai melanggar etik. Dewan Pers kemudian menerbitkan PPR yang memuat koreksi sekaligus kewajiban yang harus dijalankan Tempo. Namun, menurut Kementan, media tersebut tidak menunaikan seluruh kewajibannya.

“Terkait pengaduan kami kemarin, Dewan Pers sudah menerbitkan PPR yang wajib dipatuhi. Tapi Tempo tidak melaksanakan isi putusan itu. Itulah dasar hukum gugatan perdata ini. Bukan yang lain. Tempo jangan memframing isu yang tidak benar, ini fitnah,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa seluruh konstruksi gugatan telah terang tercantum dalam dokumen resmi dan bersumber dari ketidakpatuhan tersebut.

“Tidak mungkin ada gugatan ini kalau Tempo menjalankan putusan Dewan Pers,” ujarnya.

Chandra juga menyoroti keterangan saksi ahli yang diajukan Tempo dalam persidangan. Menurutnya, pernyataan saksi ahli justru mempertegas bahwa pihak Tempo berupaya mengalihkan substansi perkara dari isu ketidakpatuhan etik menjadi narasi pembungkaman pers.

“Keterangan saksi ahli Tempo cenderung menguatkan framing mereka sendiri. Saksi ahli menyebut gugatan ini berpotensi mengganggu kebebasan pers. Tapi argumentasi itu sama sekali tidak menyentuh pokok masalah, yakni ketidakpatuhan mereka terhadap PPR,” ujar Chandra.

Ia menilai pendekatan saksi ahli Tempo lebih bersifat opini daripada analisis berbasis regulasi. Bahkan, menurut Chandra, saksi ahli tersebut “jatuh pada narasi yang sama”, yakni menempatkan Tempo sebagai pihak yang dizalimi, tanpa mengakui adanya kewajiban etik yang telah dilanggar.

“Sayangnya saksi ahli Tempo masuk dalam narasi yang sama, bahwa seolah-olah ada ancaman terhadap kebebasan pers. Padahal ini bukan persoalan pemberedelan, bukan kriminalisasi, bukan intervensi redaksi. Ini soal kepatuhan etik yang jelas mekanismenya melalui Dewan Pers,” katanya.

Chandra menegaskan bahwa membawa saksi ahli yang tidak membahas substansi hanya memperjelas posisi Tempo yang sejak awal memilih memutar isu.

“Kalau saksi ahli tidak berbicara soal PPR, soal kewajiban etis, soal kepatuhan, lalu apa relevansinya? Ini justru memperlihatkan bahwa mereka menghindari akar persoalan,” tegasnya.

Lebih jauh lagi, Chandra menilai pemberitaan Tempo yang menyatakan gugatan Mentan 'menambah panjang daftar pembungkaman kebebasan pers' merupakan pengaburan substansi perkara. Tempo, menurutnya, berupaya menggiring opini publik untuk tidak melihat akar persoalan, yakni ketidakpatuhan terhadap putusan Dewan Pers.

“Kalau mencermati perkembangan isu, tergugat sengaja melemparkan narasi pembungkaman pers dan memposisikan diri sebagai korban. Padahal pokok persoalannya jelas: ketidakpatuhan terhadap putusan Dewan Pers,” ungkap Chandra.

Ia menambahkan, menuduh upaya penegakan PPR sebagai pembungkaman kebebasan pers sama artinya melemahkan sistem penegakan etik jurnalistik yang selama ini menjadi pilar profesionalisme pers nasional.

“Pers bebas, tapi juga wajib tunduk pada mekanisme etik yang disepakati melalui Dewan Pers,” katanya.

Merespons sejumlah komentar dari organisasi masyarakat sipil dan aktivis kebebasan pers yang ikut menanggapi isu ini, Chandra meminta semua pihak bersikap objektif dan tidak ikut menyebarkan disinformasi seperti yang dibentuk oleh pemberitaan Tempo.

“Kritik wajar. Media boleh berpendapat, menganalisa, bahkan mengkritik pemerintah. Tapi fitnah, naudzubillah, jangan seperti itu,” ujarnya.

Dengan demikian, tuduhan Tempo bahwa gugatan Mentan Amran adalah bentuk pembungkaman pers terbantahkan oleh fakta hukum, proses di Dewan Pers, serta bukti ketidakpatuhan terhadap PPR. Kuasa hukum menegaskan bahwa langkah hukum ini justru merupakan bagian dari penegakan mekanisme etik yang melindungi profesionalisme dan integritas pers di Indonesia.

Penulis :
Ahmad Yusuf