Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Lima Mahasiswa Gugat UU MD3 ke MK, Tuntut Rakyat Bisa Berhentikan Anggota DPR

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Lima Mahasiswa Gugat UU MD3 ke MK, Tuntut Rakyat Bisa Berhentikan Anggota DPR
Foto: Arsip Foto - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (keempat kiri) memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 16/10/2025 (sumber: ANTARA FOTO/Fauzan)

Pantau - Lima mahasiswa menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena menilai rakyat tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan anggota DPR yang telah mereka pilih.

Gugatan Berawal dari Ketimpangan Kewenangan Partai Politik

Permohonan uji materi ini diajukan oleh lima mahasiswa yaitu Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Mereka menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 yang menyatakan bahwa pemberhentian antarwaktu anggota DPR hanya bisa dilakukan jika "diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Menurut para pemohon, ketentuan ini menciptakan eksklusivitas bagi partai politik dalam menentukan nasib anggota DPR, tanpa membuka ruang partisipasi konstituen yang telah memilihnya.

Dalam praktiknya, partai politik dinilai kerap memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang transparan dan tidak mengindahkan prinsip kedaulatan rakyat.

Sebaliknya, ketika rakyat sudah tidak lagi memberi legitimasi kepada seorang anggota DPR, partai politik justru mempertahankannya.

Para pemohon menilai, tidak adanya mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen menjadikan rakyat hanya sebagai formalitas dalam pemilu, tanpa memiliki kontrol lanjutan terhadap wakil yang dipilihnya.

Menuntut Partisipasi Konstituen dalam Pemberhentian Anggota DPR

Mahasiswa tersebut menyampaikan bahwa tidak adanya jaminan terhadap keterlibatan rakyat pasca pemilu membuat mereka merasa kehilangan hak konstitusional secara spesifik dan nyata, atau setidaknya berpotensi terjadi.

Mereka menyebut bahwa keberlakuan pasal ini bertentangan dengan prinsip konstitusi, yakni prinsip kedaulatan rakyat, partisipasi aktif dalam pemerintahan, perlakuan yang sama dalam pemerintahan, serta kesetaraan di hadapan hukum.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d menjadi: "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Permohonan ini telah teregister di Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025.

Sidang pemeriksaan pendahuluan pertama digelar pada Selasa (4/11), sementara sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan dilaksanakan pada Senin (17/11).

"Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah," ungkap Ikhsan.

Penulis :
Leon Weldrick