Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Badan Pengkajian MPR Soroti Kebutuhan Revisi Pasal 30 UUD 1945 Terkait Tantangan Pertahanan dan Keamanan Modern

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Badan Pengkajian MPR Soroti Kebutuhan Revisi Pasal 30 UUD 1945 Terkait Tantangan Pertahanan dan Keamanan Modern
Foto: Benny Kabur Harman (sumber: ANTARA/Darwin Fatir)

Pantau - Badan Pengkajian MPR RI menilai Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 tidak lagi relevan untuk menjawab tantangan pertahanan dan keamanan di era modern.

Penilaian tersebut disampaikan dalam forum Focus Group Discussion (FGD) khusus yang membahas substansi Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945.

FGD Kelompok V Badan Pengkajian ini dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR Mohammad Iqbal Romzi, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie Aditya Batara Gunawan, staf pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Bakrie Anton Aliabbas, serta Director of Media Kernels Indonesia (Drone Emprit) Ismail Fahmi.

Menurut Badan Pengkajian, pendekatan lama yang digunakan dalam Pasal 30 tidak lagi memadai untuk mengantisipasi spektrum ancaman masa kini yang lebih kompleks.

"Dalam FGD-FGD sebelumnya dengan beberapa pakar, kami mendapat banyak masukan bahwa pendekatan dan cara pandang terhadap isu pertahanan dan keamanan dalam Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 adalah cara pandang lama yang mungkin tidak bisa kita gunakan lagi untuk menjawab tantangan yang kita hadapi saat ini," ungkap perwakilan Badan Pengkajian.

Ancaman Tak Lagi Fisik, Dominasi Teknologi dan Ekonomi

Anggota DPR RI Benny K. Harman menyampaikan bahwa para perumus awal Pasal 30 UUD 1945 hanya membayangkan ancaman dalam bentuk fisik dari negara lain.

"Setelah puluhan tahun, bentuk ancaman tidak fisik lagi. Negara lain tidak perlu menjajah secara fisik untuk menguasai, mengendalikan, dan merebut sumber daya alam," ia mengungkapkan.

Benny mencontohkan bahwa kepemilikan saham asing atas perusahaan nasional melemahkan kedaulatan melalui sistem keuangan.

Selain itu, ia menyoroti ancaman dari teknologi siber dan artificial intelligence (AI) yang bisa dimanfaatkan untuk mengganggu sistem pertahanan dan keamanan nasional.

"Pertanyaannya, cara pandang pertahanan dan keamanan kita tentu sudah berubah. Karena itu kita memerlukan adanya masukan gagasan dan pemikiran untuk Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 ini," jelasnya.

Aditya Batara Gunawan menambahkan bahwa jenis ancaman saat ini meliputi grey zone conflict, ancaman ekonomi, dan ancaman siber yang bersifat non-konvensional dan sulit diidentifikasi.

"Masih relevankah sishankamrata? Saya melihat masih sangat relevan. Cuma problemnya selama ini kita menghilangkan manifestasi ‘sistem’ dari sishankamrata. Jadi, kita hanya memikirkan hankamratanya saja. Sishankamrata masih relevan tapi tidak adaptif dengan perkembangan zaman," ujarnya.

Desakan Perubahan Konstitusi dan Arsitektur Siber Nasional

Anton Aliabbas menilai bahwa frasa “pertahanan dan keamanan” dalam Pasal 30 memperkuat kekakuan pembagian tugas antara TNI dan Polri.

"Perlu penggunaan frasa ‘keamanan nasional’ menggantikan ‘pertahanan dan keamanan’," ungkapnya.

Ia juga menyebut bahwa frasa "berhak dan wajib" menimbulkan ambiguitas dalam partisipasi publik terhadap pertahanan dan keamanan.

"Karena itu perlu pengaturan lebih eksplisit terkait tata kelola keamanan nasional, mulai dari aktor, ruang lingkup, hingga pengawasan. Juga perlu peninjauan ulang konsep sishankamrata yang lebih adaptif terhadap perkembangan ancaman. Untuk itu perlu adanya kebutuhan harmonisasi legislasi dan peraturan sektor hankam," jelasnya.

Sementara itu, Ismail Fahmi menyoroti ketiadaan arsitektur pertahanan siber nasional yang terpadu.

"Indonesia tidak memiliki National Cyber Defence Architecture yang jelas. TNI, Polri, BSSN, Kemkomdigi punya mandat bersinggungan, tetapi tanpa garis batas yang jelas, tidak ada standard operating doctrine tentang perang siber dan respon nasional. Ruang angkasa (satellite-based defence) belum punya dasar konstitusional eksplisit," ungkapnya.

Ismail menyarankan agar ruang siber dan ruang angkasa dimasukkan dalam domain pertahanan negara secara eksplisit.

Negara dinilai wajib melindungi warga dan infrastruktur digital sebagai bagian dari sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Arsitektur pertahanan siber idealnya melibatkan TNI sebagai unsur defence, Polri untuk law enforcement, BSSN untuk cyber security, dan Kemkomdigi untuk urusan ruang digital dan informasi.

Kesimpulan: Revisi Diperlukan Demi Sistem Pertahanan Terintegrasi

Seluruh narasumber sepakat bahwa spektrum ancaman yang multidimensi membutuhkan pendekatan yang koheren dan sistemik.

Upaya ini mencakup interoperabilitas TNI-Polri, kolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait, serta konsep pertahanan total yang melibatkan publik dan swasta.

Penulis :
Arian Mesa