
Pantau - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menetapkan bahwa mulai 1 Januari 2026, registrasi kartu SIM bagi pelanggan baru akan menggunakan teknologi pengenalan wajah atau face recognition.
Pada tahap awal, sistem ini masih bersifat sukarela dan diterapkan dalam masa uji coba yang berlangsung hingga 30 Juni 2026.
Mulai 1 Juli 2026, penggunaan sistem biometrik wajah untuk registrasi kartu SIM akan menjadi kewajiban penuh bagi seluruh pelanggan baru.
Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menjelaskan bahwa pada masa uji coba, pelanggan masih dapat memilih metode registrasi lama atau biometrik.
"Namun per 1 Juli 2026 sudah full biometrik", ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku bagi pelanggan baru.
"Pelanggan lama tidak perlu registrasi lagi", ia mengungkapkan.
Tujuan Penggunaan Teknologi Biometrik
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menyatakan bahwa kebijakan ini dibuat untuk mengurangi kejahatan siber.
"Hampir seluruh modus kejahatan siber, seperti scam call, spoofing, smishing, hingga penipuan social engineering, menjadikan nomor seluler sebagai alat utama", ungkap Edwin.
Berdasarkan data Komdigi, hingga September 2025, sudah terdapat lebih dari 332 juta pelanggan seluler yang tervalidasi.
Sementara itu, Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat 383.626 rekening yang digunakan dalam tindak penipuan, dengan total kerugian mencapai Rp 4,8 triliun.
"Kerugian penipuan digital ini sudah mencapai lebih dari Rp7 triliun. Bahkan setiap bulan ada 30 juta lebih scam call dan setiap orang menerima minimal satu spam call seminggu sekali. Hal tersebut yang membuat Komdigi membuat kebijakan registrasi SIM Card menggunakan face recognition", tambah Edwin.
Dukungan Operator dan Sistem Keamanan
Penerapan kebijakan ini juga ditujukan untuk membantu operator dalam membersihkan basis data dari nomor-nomor tidak aktif.
Tercatat lebih dari 310 juta nomor seluler masih aktif beredar, sementara jumlah populasi dewasa hanya sekitar 220 juta orang.
"Jadi sinyal frekuensi seluler para operator bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang benar-benar menjadi pelanggan loyal dan bukan digunakan oleh para pelaku tindak kejahatan digital", lanjut Edwin.
Operator seluler di Indonesia telah mulai menerapkan validasi biometrik untuk proses penggantian kartu SIM di gerai mereka.
Selain itu, operator juga telah menjalin Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri guna memanfaatkan data kependudukan yang diperbarui setiap dua tahun.
Dari sisi keamanan, operator telah mengimplementasikan standar ISO 27001.
Mereka juga mendukung sistem liveness detection untuk mencegah pemalsuan biometrik, dengan sertifikasi minimal ISO 30107-2.
- Penulis :
- Arian Mesa








