Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Hari Ibu di Tengah Bencana: Refleksi atas Beban Perempuan dan Tanggung Jawab Negara

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Hari Ibu di Tengah Bencana: Refleksi atas Beban Perempuan dan Tanggung Jawab Negara
Foto: (Sumber:Presiden RI Prabowo Subianto didampingi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution memeluk seorang ibu saat melakukan cek kesehatan di posko pengungsian Gelanggang Olahraga (GOR) Pandan, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Senin (1/12/2025))

Pantau - Di tengah peringatan Hari Ibu ke-97 Tahun 2025 yang dirayakan secara seremonial dengan spanduk dan pidato, ribuan ibu di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat justru berada di pengungsian—memeluk anak-anak yang ketakutan, menjaga lansia, dan berjuang dalam situasi darurat akibat banjir dan tanah longsor yang terjadi bersamaan dengan momen perayaan.

Ketangguhan Ibu Tak Boleh Jadi Alasan Membenarkan Ketidakadilan

Hari Ibu seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan sekadar seremoni.

Dampak bencana tidak pernah adil.

Kelompok yang paling terdampak secara berulang adalah perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

Data dari BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pengungsi adalah perempuan dan anak-anak.

Angka ini mengungkap siapa yang paling lama bertahan dalam krisis, paling banyak mengalah, dan paling jarang didengar dalam pengambilan keputusan.

Dalam situasi bencana, beban perempuan menjadi berlapis: kehilangan rumah, mengasuh anak-anak yang trauma, menjaga lansia yang sakit, dan menopang kondisi emosional keluarga di tengah keterbatasan.

Anak-anak kehilangan rasa aman, rutinitas belajar, serta ruang bermain yang penting bagi pemulihan psikologis.

Lansia menghadapi keterbatasan fisik dan penyakit kronis yang sulit ditangani dalam kondisi darurat.

Penyandang disabilitas kesulitan mengakses evakuasi, fasilitas pengungsian, dan layanan yang tak dirancang untuk kebutuhan mereka.

Pada titik ini, bencana bukan lagi sekadar peristiwa alam, tetapi persoalan keadilan sosial.

Mandat KemenPPPA dan Tuntutan Perlindungan yang Nyata

Dalam situasi darurat, kebijakan publik menjadi kunci untuk memastikan perlindungan kelompok rentan.

Mandat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjadi sangat penting.

Pengarusutamaan gender dan perlindungan anak dalam situasi bencana bukan sekadar istilah administratif, tapi cara pandang kebijakan yang harus diterapkan.

Tanpa perspektif ini, penanganan bencana akan:

Terjebak dalam pendekatan seragam yang tak sesuai kenyataan

Mengabaikan kebutuhan kelompok rentan

Tidak menyediakan ruang aman bagi perempuan dan anak

Mengabaikan layanan kesehatan reproduksi

Gagal melindungi dari kekerasan berbasis gender

Suara ibu penyintas jarang dijadikan rujukan kebijakan.

Pengalaman mereka sering dikesampingkan.

Ketika ini terjadi, ketangguhan perempuan hanya akan terus dipuji tanpa menyelesaikan ketidakadilan struktural yang memaksa mereka tangguh.

Apakah negara terlalu bergantung pada ketangguhan ibu?

Apakah negara sudah cukup melindungi mereka?

Ketangguhan bukan alasan untuk membenarkan beban yang tidak adil.

Menghormati ibu berarti membentuk sistem yang meringankan beban mereka, bukan memperpanjangnya.

Hari Ibu dan Sejarah Pergerakan Perempuan

Hari Ibu lahir dari semangat pergerakan perempuan Indonesia yang menuntut pengakuan sebagai subjek pembangunan.

Kini, semangat itu harus kembali menginspirasi: menuntut kebijakan penanggulangan bencana yang responsif gender, inklusif terhadap lansia dan penyandang disabilitas, serta memberi ruang partisipasi bagi para penyintas.

Pemulihan yang adil tak cukup membangun kembali infrastruktur.

Ia harus memulihkan martabat, rasa aman, dan kepercayaan.

KemenPPPA bersama pemerintah daerah dan lembaga terkait harus memastikan:

Negara tidak berhenti hanya pada tahap tanggap darurat

Bencana menjadi momentum koreksi kebijakan dan penguatan sistem perlindungan

Perencanaan dilakukan dengan sensitivitas gender

Layanan di pengungsian bersifat terpadu dan aman

Anak-anak dilindungi melalui mekanisme aktif

Perempuan penyintas dilibatkan sebagai sumber pengetahuan dan dasar kebijakan

Dalam hujan dan genangan, seorang ibu memeluk anaknya untuk menghangatkan.

Dalam pelukan itu, ada ketakutan yang tak terucap, kelelahan yang menumpuk, dan harapan sederhana: dilindungi.

Hari Ibu bukan seremoni.

Ia adalah ujian moral bagi kebijakan publik.

Jika negara masih membiarkan ibu menanggung beban bencana sendirian, maka yang gagal bukan ibu penyintas—tetapi kita semua yang merancang dan menjalankan kebijakan.

Selamat Hari Ibu ke-97 Tahun 2025.

Penulis :
Gerry Eka