Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Kritik Konstruktif Dinilai Penting untuk Menguatkan Tim Pemulihan Bencana

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Kritik Konstruktif Dinilai Penting untuk Menguatkan Tim Pemulihan Bencana
Foto: (Sumber: Ilustrasi. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terus melakukan penanganan pascabencana longsor dan banjir bandang yang berdampak pada Jembatan Kembar Margayasa KM 67+000 di Silaiang Bawah, perbatasan Kota Padang Panjang dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar). (ANTARA/HO - Kementerian PU))

Pantau - Artikel telaah ini menyoroti pentingnya mendukung tim pemulihan bencana melalui kritik yang bersifat konstruktif agar proses pemulihan pascabencana berjalan efektif dan tidak kontraproduktif.

Pemulihan bencana alam di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara saat ini dikawal oleh pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama pemerintah daerah.

Dalam proses tersebut, upaya pemulihan kerap dihadapkan pada berbagai kritik dari masyarakat, media, maupun pengamat.

Kritik sering kali disampaikan dalam bentuk tuntutan penanganan yang lebih cepat tanpa mempertimbangkan medan, risiko, serta tingkat kesulitan yang dihadapi di lapangan.

Kritik yang tidak berbasis data, fakta, dan gagasan solutif justru dinilai menjadi beban moral tambahan bagi tim pemulihan.

Di sisi lain, tim pemulihan terus membangun harapan melalui aksi nyata seperti evakuasi korban, distribusi bantuan, rekonstruksi infrastruktur, serta penyediaan hunian sementara yang layak.

Gelombang kritik yang muncul kerap terkesan hanya menyoroti kelemahan tanpa memahami kompleksitas situasi kebencanaan.

Pertanyaan utama yang mengemuka adalah bagaimana kritik dapat menjadi bagian dari sistem pendukung pemulihan dan tidak bersifat kontraproduktif.

Mengacu pada teori komunikasi aksi Jürgen Habermas, kritik seharusnya disampaikan melalui dialog rasional yang berorientasi pada perbaikan.

Kritik yang tidak memiliki dasar empiris dinilai hanya akan memperburuk polarisasi sosial di tengah situasi krisis.

Dukungan konstruktif dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar yang sistematis dan memperkuat strategi pemulihan bencana.

Di tengah keterbatasan sumber daya dan kondisi geografis yang kompleks, kritik seharusnya diniatkan untuk menguatkan, bukan mengacaukan.

Tim pemulihan dinilai tidak layak dijadikan sasaran kemarahan dan kecaman karena mereka menjalankan kewajiban moral untuk menyelamatkan nyawa dan meringankan beban korban pascabencana.

Dalam situasi krisis, tim pemulihan tidak memiliki ruang untuk berdebat, terlebih menghadapi kritik bernada emosi.

Mengacu pada pemikiran John Rawls dalam A Theory of Justice, integritas moral menuntut tindakan yang berlandaskan prinsip keadilan rasional.

Kritik yang disampaikan dari sudut pandang sarat tendensi dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan tersebut.

Menghargai perjuangan tim pemulihan dengan menjunjung nilai kebenaran dan memberikan dukungan penuh disebut sebagai prinsip penting dalam komunikasi kebencanaan.

Adagium untuk tidak menyalahkan siapa pun atas apa pun dikedepankan sebagai upaya membangun kohesi sosial di tengah krisis.

Prinsip tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan kritik, melainkan mencegah perpecahan sosial saat kondisi masih rentan.

Dalam situasi krisis, kecenderungan mencari kambing hitam sering kali lebih dominan dibanding dukungan partisipatif.

Fenomena tersebut kerap muncul dari kepentingan politik oposisi atau media yang mengejar sensasi.

Tim pemulihan membutuhkan dukungan berupa solusi nyata, terutama terkait distribusi dan alokasi bantuan.

Dukungan juga diperlukan dalam koordinasi medis, pemulihan ekonomi, serta pemenuhan kebutuhan pangan bagi korban.

Masyarakat diajak melakukan introspeksi apakah kritik yang disampaikan benar-benar membantu pemecahan masalah atau justru melemahkan tim di garis depan.

Penulis :
Ahmad Yusuf