
Pantau - Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, mengingatkan agar pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak dinormalisasi, karena memiliki makna ideologis dan politis yang kuat sebagai simbol separatisme.
Ia menyebut kemunculan bendera GAM di ruang publik bukan sekadar ekspresi budaya, melainkan bentuk simbolik yang berpotensi menghidupkan kembali konflik dan gerakan separatis.
“Pengibaran bendera GAM tidak boleh dinormalisasi karena memiliki makna ideologis dan politis yang kuat sebagai simbol separatis,” ungkapnya.
Separatisme Tidak Lagi Berwujud Senjata, Tapi Simbol dan Narasi
Ali Rif’an menjelaskan bahwa dalam era digital, ancaman separatisme tidak lagi harus dilakukan dengan kekerasan bersenjata.
Kini, narasi provokatif, penyebaran simbol di media sosial, dan manipulasi psikologis masyarakat menjadi metode baru yang digunakan untuk menyebarkan ide separatis.
Ia mencontohkan pengibaran bendera GAM di Aceh saat masyarakat sedang terdampak bencana sebagai bentuk eksploitasi kondisi psikologis warga yang dapat memicu konflik horizontal.
Situasi semacam itu dinilai sangat sensitif karena masyarakat sedang dalam posisi rentan dan mudah terpengaruh oleh simbol-simbol yang memancing emosi.
Negara Diminta Tutup Ruang Simbol Separatis Demi Perdamaian
Ali Rif’an menegaskan bahwa perdamaian Aceh merupakan hasil dari proses yang panjang, kompleks, dan mahal, sehingga tidak boleh terganggu oleh munculnya simbol-simbol yang mengarah pada kebangkitan narasi separatis.
Ia meminta negara tegas dalam menutup ruang terhadap semua bentuk simbol separatis agar perdamaian tetap terjaga.
“Separatisme tidak selalu bersenjata, tapi dampaknya bisa sama berbahayanya jika dibiarkan,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa menjaga keutuhan NKRI tidak hanya soal keamanan fisik, tetapi juga pengendalian simbolik dan emosional di tengah masyarakat.
- Penulis :
- Gerry Eka







