
Pantau - Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher menyatakan perlunya kajian lebih lanjut setelah penghapusan kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurutnya, perubahan sistem ini dipastikan akan menimbulkan beberapa konsekuensi bagi peserta BPJS Kesehatan.
Netty menekankan, konsekuensi tersebut tidak hanya terkait pemenuhan kriteria fisik, tetapi juga memastikan ketersediaan tenaga kesehatan dan obat-obatan yang terstandarisasi.
"Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Hal ini terkait kemampuan dan cash flow rumah sakit untuk melakukan penyesuaian," ujar Netty di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Penghapusan kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Netty menilai, keberadaan KRIS berarti tidak ada lagi perbedaan antara kelas satu, dua, dan tiga, dengan setiap kelas mendapatkan layanan dan kamar yang sama.
Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya pengkajian mengenai beberapa aspek, termasuk premi BPJS, migrasi peserta, dan insentif untuk rumah sakit swasta.
"Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? Kalau semua mendapatkan layanan yang sama, perlu dikaji apakah premi BPJS-nya masih seperti itu," tanyanya.
Netty juga mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya migrasi peserta yang akan memilih kelas lebih rendah karena menganggap tidak ada perbedaan pelayanan antara kelas satu, dua, dan tiga.
Namun, menurutnya, yang paling penting adalah jaminan tentang ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.
"Ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan," tandasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas