
Pantau - Direktur Eksekutif Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, mengkritisi revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan, pembatasan, bahkan pemutusan akses di ruang siber.
“RUU ini perlu kita kritisi lebih lanjut untuk memastikan bahwa kewenangan tidak disalahgunakan yang akhirnya malah mempersempit ruang sipil di ranah digital,” ujar Nenden saat dihubungi, Kamis (30/5/2024).
Nenden menyoroti pentingnya indikator yang jelas dalam upaya penindakan di ruang siber. Tanpa panduan yang jelas, kewenangan ini berpotensi melanggar privasi dan kebebasan berekspresi.
“Polisi bisa saja memonitoring semua aktivitas netizen,” kata Nenden.
Selain itu, Nenden juga memperingatkan tentang potensi tumpang tindih kewenangan antara berbagai lembaga yang terlibat dalam pengaturan ruang digital.
“Perlu dilihat bagaimana peran BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), peran Kominfo, apalagi dalam konteks pemblokiran moderasi konten yang ada di ranah digital,” ujarnya.
Nenden menegaskan pentingnya koordinasi antar lembaga untuk memastikan tidak terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan dalam mengatur ruang digital.
“Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara keamanan siber dan perlindungan hak-hak sipil di dunia maya,” tandasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas