Pantau Flash
HOME  ⁄  News

Kasus Kekerasan di Pesantren: Evaluasi Sistem Disiplin untuk Lindungi Hak Anak

Oleh Ahmad Ryansyah
SHARE   :

Kasus Kekerasan di Pesantren: Evaluasi Sistem Disiplin untuk Lindungi Hak Anak
Foto: JPPRA

Pantau - Kasus kekerasan yang dialami seorang santri di Aceh Barat, Teuku (15), telah menggugah perhatian publik, terutama terkait pentingnya perbaikan sistem pendisiplinan di pesantren. Peristiwa ini menjadi sorotan, tidak hanya karena kekerasan fisik yang dilakukan, tetapi juga karena dampak serius yang dialami korban, baik fisik maupun psikologis.

Teuku mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan oleh istri pimpinan pesantren, NN (40), setelah ketahuan merokok. Hukuman berupa siraman air yang dicampur cabai dan penggundulan kepala menyebabkan korban terluka dan trauma. Kasus ini memicu pertanyaan besar terkait metode disiplin yang diterapkan di beberapa lembaga pendidikan berbasis agama.

Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) menyoroti bahwa kekerasan fisik atau psikis dalam proses mendisiplinkan santri bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya melindungi hak anak. Kiai Yoyon Syukron Amin, Koordinator Nasional JPPRA, menegaskan bahwa pendekatan kekerasan tidak sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Setiap anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental.

Baca Juga:
Viral! Diduga Istri Pimpinan Pesantren Siram Santri di Aceh Barat Pakai Air Cabai
 

Perlunya Evaluasi Sistem Disiplin Pesantren

Kasus ini mengangkat urgensi evaluasi sistem pendidikan pesantren, terutama dalam hal metode pendisiplinan. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang menekankan nilai-nilai agama, seharusnya menjunjung tinggi kasih sayang dan pendekatan yang humanis. Hukuman fisik dianggap tidak lagi relevan dalam membentuk karakter santri.

Penggunaan metode disiplin berbasis kekerasan dapat menciptakan trauma berkepanjangan bagi santri. Alternatif pendekatan yang lebih dialogis dan berorientasi pada pendidikan karakter harus dikedepankan, untuk memastikan bahwa proses pembinaan tetap sesuai dengan ajaran agama yang mengedepankan kelembutan dan kasih sayang.

Langkah Hukum dan Reformasi Sistem

JPPRA juga mendesak agar proses hukum terhadap pelaku kekerasan dilakukan secara transparan dan adil, serta mendorong agar insiden seperti ini menjadi momentum untuk reformasi sistem pendisiplinan di pesantren. Peningkatan pengawasan dan penguatan regulasi yang melindungi hak-hak anak di lembaga pendidikan berbasis agama menjadi penting agar kasus serupa tidak terulang.

Dengan adanya kejadian ini, diharapkan pesantren-pesantren di Indonesia dapat melakukan introspeksi dan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, ramah anak, dan bebas dari kekerasan.

Penulis :
Ahmad Ryansyah