
Pantau - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut positif gagasan pelaksanaan program untuk meningkatkan kualitas juru dakwah di Indonesia.
Namun, istilah sertifikasi juru dakwah dinilai kurang tepat karena terkesan formalistik dan seragam.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Zainut Tauhid Sa'adi, lebih menyukai istilah penguatan kompetensi juru dakwah yang fokus pada peningkatan kapasitas, bukan sekadar formalitas administratif.
“Saya tidak bisa membayangkan jika program sertifikasi diberlakukan dan hanya juru dakwah bersertifikat yang boleh berdakwah. Bagaimana nasib ustaz dan kiai kampung yang tidak memiliki sertifikat tetapi memiliki keilmuan yang mumpuni?” ujar Zainut.
Zainut berpendapat, program penguatan kompetensi juru dakwah diharapkan mampu memberikan pembekalan yang lebih komprehensif, baik dari aspek materi, metodologi, maupun wawasan kebangsaan.
Materi yang akan diberikan meliputi isu-isu aktual seperti hubungan agama dan negara, moderasi beragama, literasi media digital, strategi dakwah kepada generasi Z, hingga penanggulangan terorisme.
Baca Juga: Kemenag Bakal Libatkan Ormas dalam Kajian Sertifikasi Pendakwah
“Substansi penguatan kompetensi lebih pada pengayaan wawasan dan penguatan metodologi dakwah,” tambahnya.
Zainut juga menekankan pentingnya program ini untuk mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, dan sikap inklusif dalam berdakwah.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa program ini sebaiknya bersifat sukarela, bukan wajib. Peserta dapat berasal dari individu maupun perwakilan organisasi keagamaan seperti ormas Islam, majelis taklim, dan lembaga pendidikan Islam.
Penyelenggaraan program ini, menurutnya, bisa dilakukan oleh Kementerian Agama, organisasi keagamaan, maupun perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta.
“Penekanannya bukan pada sertifikasi, tetapi pada peningkatan kualitas juru dakwah,” tutup Wakil Menteri Agama pada 2019–2023 ini.
- Penulis :
- Aditya Andreas