
Pantau - Wacana revisi Tata Tertib (Tatib) DPR RI yang memungkinkan parlemen menonaktifkan pejabat negara hasil fit and proper test menuai kritik.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai aturan tersebut bertentangan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia.
Menurut Ray, tugas dan wewenang DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya mencakup tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Dalam ketiga fungsi itu, sama sekali tidak ada ketentuan yang memberikan DPR kewenangan untuk memberhentikan pejabat negara,” ujarnya, Rabu (5/2/2025).
Ray menjelaskan, dalam fungsi pengawasan, keputusan DPR bersifat politik, bukan aturan hukum. Artinya, keputusan tersebut hanya berupa rekomendasi kepada presiden yang dapat diterima atau diabaikan.
Ia mencontohkan kasus Rini Soemarno, Menteri BUMN di era Presiden Joko Widodo, yang sempat diminta DPR untuk dicopot, namun tetap bertahan hingga akhir masa jabatan.
Baca Juga: Revisi Tatib, Kini DPR Bisa Evaluasi Pejabat Hasil Fit and Proper Test
Lebih lanjut, Ray menilai argumentasi bahwa DPR berhak menonaktifkan pejabat negara karena ikut dalam seleksi mereka juga lemah.
Menurutnya, kewenangan DPR dalam fit and proper test bersifat atributif, bukan bagian dari tugas pokoknya dalam UU MD3. Ia justru mempertanyakan apakah keterlibatan DPR dalam seleksi pejabat negara masih relevan.
“Dalam sistem presidensial, seharusnya pemilihan pejabat negara sepenuhnya menjadi wewenang eksekutif, sementara DPR hanya mengawasi prosesnya,” kata Ray.
Jika DPR memiliki kewenangan mencopot pejabat, lanjutnya, maka Indonesia akan berada dalam sistem pemerintahan yang tidak jelas. Ray juga mengkritik jika pencopotan pejabat hanya diatur dalam Tatib DPR, sementara seleksinya melalui UU.
“Sejak kapan Tatib DPR mengikat pihak di luar parlemen? Tatib itu untuk anggota DPR, bukan aturan bernegara,” pungkasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas