
Pantau - Film dokumenter "Raminten Universe: Life is a Cabaret" menampilkan potret cabaret show ala Yogyakarta yang dirintis almarhum Kanjeng Hamzah Sulaiman, sosok di balik karakter Raminten, sebagai panggung seni sekaligus ruang inklusi sosial.
Cabaret dalam dokumenter ini bukan sekadar hiburan, tetapi menjadi ruang aman yang menghapus sekat sosial, memberdayakan komunitas terpinggirkan, dan merayakan keberagaman Indonesia.
Warisan Kanjeng Hamzah dan Dampak Sosial Cabaret
Hamzah yang bergelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanaya Hamidjinindyo dari Keraton Yogyakarta menjadikan cabaret sebagai wadah pekerjaan, ruang kekeluargaan, dan solidaritas.
Dari cabaret hingga bisnis Batik Hamzah, ia memberi kesempatan bagi banyak orang dari latar belakang beragam, mulai lulusan hukum, pekerja seni tata rias, hingga alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Film ini menyoroti dinamika cabaret show yang kerap diwarnai stigma, khususnya terkait isu LGBTQ. Meski cabaret mengedepankan inklusivitas dan ekspresi seni, banyak masyarakat masih memberi penilaian negatif tanpa menyaksikan langsung pertunjukan.
Inklusi Gender dan Ekspresi Seni
Dokumenter juga membahas isu crossdresser dan drag queen. Crossdresser dijelaskan sebagai individu yang mengekspresikan diri dengan pakaian berbeda dari gender lahirnya, yang tidak selalu terkait orientasi seksual.
Cabaret menampilkan konsep ini sebagai harmoni antara modernitas dan tradisi, menegaskan bahwa seni dapat melampaui batas identitas gender.
Pesan Dokumenter
Dengan narasi penuh empati, "Raminten Universe" mengingatkan bahwa inklusivitas bukan wacana, tetapi tindakan nyata sehari-hari, baik di panggung maupun interaksi sosial.
Film ini sejalan dengan warisan Hamzah: keberanian mencintai tanpa membedakan, serta mengajarkan bahwa kesuksesan bisa diraih tanpa merugikan orang lain.
"Raminten Universe: Life is a Cabaret" menegaskan bahwa empati dan penerimaan tanpa syarat merupakan fondasi keberagaman Indonesia yang sejati dan menunjukkan seni sebagai pemersatu di tengah stigma dan diskriminasi.
- Penulis :
- Aditya Yohan