
Pantau - Selama beberapa tahun belakangan ini, fenomena tentang buzzer di platform media sosial semakin meresahkan. Baik untuk menyerang isu-isu politik maupun fenomena sosial lainnya.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengungkapkan, para buzzer tersebut memang sengaja dibiayai para pengusaha dan oligarki untuk membentuk opini publik di media sosial.
"Berdasarkan wawancara kami, 25 persen dari mereka mengungkapkan dari mana pembiayaannya, yakni dari para pengusaha," ungkapnya dalam diskusi virtual di Universitas Paramadina, Kamis (2/3/2023).
Wijayanto menilai, akibat terjadinya penyebaran hoaks dan konten berbau hate speech di media sosial, membuat polarisasi politik terus terjadi di tengah masyarakat.
"Walaupun, di dunia nyata polarisasi tersebut tidak terlalu tampak, tapi konten yang terus berulang-ulang di media sosial membuat ini selalu terjadi gontok-gontokan," lanjutnya.
Ia berpendapat, penyedia platform media sosial terkesan abai terhadap isu tersebut. Hal ini membuat konten-konten negatif tetap marak bertebaran di media sosial.
"Tapi kita juga tidak bisa mengandalkan pemerintah. Sebab, nanti yang akan dihapus justru akun-akun yang kritis, yang pro kepada pemerintah tetap dipertahankan," tutupnya.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengungkapkan, para buzzer tersebut memang sengaja dibiayai para pengusaha dan oligarki untuk membentuk opini publik di media sosial.
"Berdasarkan wawancara kami, 25 persen dari mereka mengungkapkan dari mana pembiayaannya, yakni dari para pengusaha," ungkapnya dalam diskusi virtual di Universitas Paramadina, Kamis (2/3/2023).
Wijayanto menilai, akibat terjadinya penyebaran hoaks dan konten berbau hate speech di media sosial, membuat polarisasi politik terus terjadi di tengah masyarakat.
"Walaupun, di dunia nyata polarisasi tersebut tidak terlalu tampak, tapi konten yang terus berulang-ulang di media sosial membuat ini selalu terjadi gontok-gontokan," lanjutnya.
Ia berpendapat, penyedia platform media sosial terkesan abai terhadap isu tersebut. Hal ini membuat konten-konten negatif tetap marak bertebaran di media sosial.
"Tapi kita juga tidak bisa mengandalkan pemerintah. Sebab, nanti yang akan dihapus justru akun-akun yang kritis, yang pro kepada pemerintah tetap dipertahankan," tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas