
Pantau - Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto, menegaskan pentingnya pergeseran paradigma dalam pengembangan sains dan teknologi di Indonesia, dari sekadar pencapaian angka menjadi dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat luas.
“Sains tidak boleh eksklusif, teknologi harus dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan pengetahuan tidak boleh tumbuh meninggalkan masyarakat,” ungkap Brian dalam pernyataannya.
Ia menyampaikan hal ini dalam peluncuran dan evaluasi Program Semesta, sebuah inisiatif untuk menjembatani riset dengan kebutuhan masyarakat dan sektor industri.
Hadapi Tantangan Hilirisasi, Pemerintah Dorong Komersialisasi Produk Riset
Brian menyoroti tantangan utama dalam pengembangan teknologi, yaitu fenomena Death Valley atau “lembah kematian” inovasi, di mana banyak prototipe riset gagal menjadi produk nyata.
Ia mendorong agar hasil penelitian tidak berhenti di laboratorium, tapi terus dikembangkan hingga menjadi produk komersial guna mengurangi ketergantungan pada impor.
Program Semesta menjadi salah satu kendaraan untuk mengatasi hambatan tersebut.
Dalam program ini, Kemdiktisaintek berkolaborasi dengan LPDP dan menghasilkan 137 poster serta produk inovasi dari berbagai skema seperti In Saintek, Tera Saintek, Resona Saintek, dan Berdikari.
Sebanyak 100 karya terbaik dari skema Berdikari akan dibukukan dan diluncurkan untuk publik sebagai bagian dari upaya membangun “kedaulatan berpikir bangsa”.
Produk Unggulan Daerah dan Skema Suryakanta untuk Ukur Dampak Sosial
Direktur Jenderal Sains dan Teknologi, Ahmad Najib Burhani, menjelaskan bahwa 100 kisah terpilih dalam buku tersebut menggambarkan posisi sains sebagai kekuatan sosial yang memperkuat produktivitas dan ketahanan masyarakat.
“Seratus kisah yang tersaji dalam buku itu memperlihatkan bahwa sains dan teknologi tidak berdiri di luar masyarakat... tetapi sebagai motor penggerak yang memperkuat daya hidup, produktivitas, dan ketahanan masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga memaparkan beberapa riset unggulan yang rampung pada 2025, di antaranya:
Pemanfaatan sabut kelapa oleh Politeknik ATMI Surakarta
Inovasi Internet of Things untuk lahan kering oleh Politeknik Negeri Kupang
Teknologi jagung sen organik oleh Politeknik Pertanian Negeri Kupang
Transformasi limbah pasar menjadi pakan ayam oleh Universitas Papua
Sebagai upaya lanjutan, Kemdiktisaintek memperkenalkan skema baru bernama Suryakanta, yang dirancang untuk mengukur seberapa besar manfaat sosial dari riset yang dilakukan perguruan tinggi.
“Melalui Suryakanta, kita ingin menggeser fokus kinerja dari yang tadinya hanya menghitung jumlah riset, menjadi mengukur seberapa besar manfaat riset tersebut bagi masyarakat luas,” ujar Najib.
Kebijakan ini memperlihatkan arah baru pemerintah dalam menjadikan sains sebagai pendorong utama kesejahteraan dan kemandirian bangsa, bukan sekadar pencapaian akademik.
- Penulis :
- Gerry Eka







