
Pantau.com - Bank Sentral Tiongkok dikabarkan akan melemahkan mata uangnya untuk membantu ekspor Tiongkok sebagai antisipasi imbas perang dagang dengan AS. Hal ini dinilai akan berujung pada perang mata uang antara AS dan China.
"Pastinya AS akan membalas China dengan menerapkan kenaikan tarif ke lebih banyak produk," ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira saat dihubungi Pantau.com, Senin (23/7/2018).
Ia mengatakan, tahun 2015 China pernah menggunakan strategi menurunkan nilai mata uangnya atau devaluasi. Imbasnya rupiah sempat melemah bahkan salah satu faktor yg menyebabkan rupiah merosot ke Rp14.680 terendah sejak krisis 1998.
"Jadi dampak devaluasi ini buruk bagi ekonomi negara berkembang. Pasar lokal kita pun akan dibanjiri produk asal China dengan harga yang lebih murah. Ini menciptakan tsunami yang menyapu sektor dalam negeri baik industri manufaktur maupun UMKM," pungkasnya.
Baca juga: Tak Hanya Perang Dagang, Perang Lain Juga akan Bahayakan Rupiah
Lebih lanjut ia menambahkan, kenaikkan tarif dalam perang dagang juga nantinya berimbas pada berkurangnya volume perdagangan dunia. Sehingga Indonesia sebagai eksportir komoditas mentah dinilai akan semakin tertekan.
"Tarif naik berimbas ke berkurangnya volume perdagangan dunia, Indonesia sebagai eksportir komoditas mentah semakin tertekan," katanya.
Hal ini menimbulkan kesepakatan untuk mengakhiri perang dagang AS China kian sulit. Buntutnya sektor keuangan dinilai semakin bergejolak.
"Konsensus negosiasi untuk mengakhiri perang dagang pun antara AS China makin sulit tercapai, sehingga sektor keuangan makin bergejolak," ungkapnya.
- Penulis :
- Nani Suherni