billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Empat Alasan Pernyataan Sri Mulyani Soal Utang Sangat Berbahaya

Oleh Ahmad Munjin
SHARE   :

Empat Alasan Pernyataan Sri Mulyani Soal Utang Sangat Berbahaya
Pantau - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait kenaikan utang Indonesia yang terbukti efektif menumbuhkan ekonomi dinilai sangat berbahaya. Menkeu dinilai melakukan penyesatan, pembodohan dan pembohongan kepada publik, khususnya secara langsung kepada anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Penilaian tersebut datang dari Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS). “Pernyataan Sri Mulyani tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan, sangat bahaya,” kata dia di Jakarta, Minggu (4/6/2023) malam.

Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Banggar DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa  (30/5/2023), Menkeu memberi pernyataan mengejutkan.

Sri Mulyani mengatakan, kenaikan utang Indonesia terbukti efektif, membuat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan utang. Sebagai bukti, Sri Mulyani memberi ilustrasi, untuk periode 2018-2022, setiap 1 dolar utang membuat pertumbuhan ekonomi naik 1,34 dolar AS.

“Anggota Banggar manggut-manggut. Tidak ada yang komentar. Seperti kena hipnotis,” tukas Anthony.

Menurut dia, Sri Mulyani menyatakan, seolah-olah, ada korelasi langsung antara defisit anggaran atau utang terhadap pertumbuhan ekonomi. “Dalam bahasa ekonomi, seolah-olah, ada efek multiplier antara utang dan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,34 dolar AS,” ungkap dia.

Lebih jauh Anthony menjelaskan, paling tidak terdapat empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik.

Utang dan Pertumbuhan Ekonomi: Tak Ada Korelasi Langsung


Pertama, ekonomi terdiri dari dua sisi, yaitu sisi supply (produksi) dan sisi demand (permintaan atau konsumsi).

Sisi permintaan terdiri dari empat komponen, yaitu konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor dikurangi impor (E-M).

Dalam notasi: Y = C + I + G + (E-M), kata dia, teori permintaan ini dikembangkan oleh ekonom terkenal asal Inggris, John Maynard Keynes. Keynes berargumen, kalau konsumsi masyarakat (C) turun, maka harus dikompensasikan dengan kenaikan Belanja Negara (G), yaitu melalui defisit anggaran, atau stimulus fiskal, untuk menahan ekonomi agar tidak anjlok dan masuk resesi lebih dalam.

“Keynes memberi contoh, kesalahan kebijakan pada saat depresi besar tahun 1930-an karena pemerintah tidak memberi stimulus fiskal cukup memadai, sehingga membuat ekonomi global mengalami depresi berkepanjangan,” papar Anthony.

Sebaliknya, sambung dia, ketika ekonomi ‘memanas’ di mana konsumsi masyarakat naik pesat, pemerintah harus mengurangi Belanja Negara, agar tidak terjadi hiperinflasi.

Artinya, pemerintah harus menjalankan kebijakan destimulus fiskal, atau kontraksi, melalui surplus anggaran. Dalam hal ini, tanpa utang, ekonomi juga bertumbuh.

“Jadi ini alasan pertama, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyesatkan publik, dan membodohi anggota Banggar,” ucapnya tandas.

Dalam notasi persamaan ekonomi menurut Keynes, tidak ada korelasi langsung antara utang (defisit anggaran) dengan pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan PDB Dipicu Kebijakan Moneter Inflationary Bukan Utang


Kedua, sisi supply ekonomi, dinyatakan dengan Y, terdiri dari Harga dikali Kuantitas: Y = P x Q. Dalam resesi, Harga (atau general price index) dan kuantitas produksi tertekan. Sehingga ekonomi (Y) tertekan.

Stimulus fiskal berupaya menahan agar kuantitas produksi (Q), dan harga, tidak anjlok. Tetapi, tidak cukup. Karena itu, hampir semua Bank Sentral dunia menjalankan kebijakan stimulus moneter, menurunkan suku bunga, dan sekaligus membanjiri likuiditas melalui quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, dan memicu inflasi.

“Ini yang terjadi di masa pandemi. Kebijakan moneter global, penuriammo suku bunga hingga 0 persen serta quantitative easing, memicu harga komoditas dan inflasi global naik tajam, dan membuat ekonomi (PDB) dalam nilai nominal naik. Terutama bagi negara produsen komoditas seperti Indonesia,” papar dia.

Oleh karena itu, ditegaskan Anthony, membandingkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal antarnegara, khususnya negara produsen komoditas seperti Indonesia dengan negara non-produsen komoditas seperti India, seperti disampaikan Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, sangat tidak relevan.

“Yang membuat PDB nominal naik bukan karena utang, tetapi karena kebijakan moneter inflationary,” timpal dia.

Kenaikan PDB Akibat Utang Sangat Rendah di Era Jokowi


[caption id="attachment_376687" align="alignnone" width="1600"]Empat Alasan Pernyataan Sri Mulyani Soal Utang Sangat Berbahaya Sumber: Dok. Pribadi Anthony Budiawan[/caption]

Ketiga, mengikuti logika Sri Mulyani, rasio kenaikan PDB nominal ‘akibat’ utang di pemerintahan Jokowi sangat rendah dibandingkan dengan pemerintahan SBY, seperti terlihat di tabel 1, tabel 2 dan tabel 3.

Untuk periode 2004-2009, rasio kenaikan PDB terhadap utang sangat tinggi 11,31. Artinya, setiap kenaikan satu rupiah utang, ‘membuat’ PDB nominal naik 11,31 rupiah. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio di Pemerintahan Jokowi.

Rasio pada periode 2014-2019 hanya 2,64 dan rasio pada periode 2019-2022 hanya 1,27. “Artinya, Jokowi dan Sri Mulyani gagal?” ujar Anthony mempertanyakan.

Menkeu Tutupi Kegagalan dengan Penyesatan Opini kepada Publik


Keempat (terakhir), Sri Mulyani, menurut dia, seharusnya membandingkan kenaikan PDB nominal dengan kenaikan utang, dalam persentase, seperti pada tabel 3.

Ternyata, rasio ini pada periode 2019-2022 sangat rendah, hanya 0,38. Artinya, setiap kenaikan 1 persen utang hanya membuat PDB nominal naik 0,38 persen. Sedangkan di periode 2004-2009, setiap kenaikan 1 persen utang membuat PDB nominal naik 6,37 persen.

“Rasio ini juga menunjukkan Jokowi dan Sri Mulyani gagal?” tuturnya.

Akan tetapi, lanjut Anthony, Sri Mulyani berusaha menutupi kegagalan ini dengan penyesatan opini kepada publik. “Ini sekaligus melakukan pembodohan dan pembohongan kepada publik dan anggota Banggar DPR?” imbuhnya dengan nada terheran-heran.
Penulis :
Ahmad Munjin