Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Ekspor Sawit Dijegal Eropa, Begini Perlawanan RI dan Malaysia

Oleh Ahmad Munjin
SHARE   :

Ekspor Sawit Dijegal Eropa, Begini Perlawanan RI dan Malaysia
Foto: Ilustrasi - Buah kelapa sawit yang sudah matang dan siap diolah menjadi minyak kelapa sawit atau CPO. (iStockphoto.com)

Pantau – Soal Undang-Undang Anti Deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), Dewan Negara Produsen Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) sepakat memperpanjang ad hoc joint task force.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, ketua task force kini diserahkan dari Indonesia ke Malaysia yang akan memimpin selama satu tahun ke depan. Hal ini diputuskan dalam pelaksanaan Ministerial Meeting CPOC di Jakarta Jumat (29/11/2024).

Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melanjutkan ad hoc dari joint task force tentang EUDR, di mana EUDR parlemen Eropa telah memperpanjang satu tahun (implementasinya) dan selanjutnya juga tadi telah diserahterimakan dari keketuaan Indonesia ke Malaysia untuk periode satu tahun ke depan.

Demikian kata Airlangga dalam Press Conference 12th Ministerial Meeting of CPOC di Four Seasons Hotel, Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Baca juga: Pacu Daya Saing, Ketentuan Pungutan Ekspor Sawit Ditinjau Ulang

CPOC akan melanjutkan pendekatan mereka ke Uni Eropa terkait EUDR. Sebagai informasi, regulasi yang tadinya akan diterapkan 2025 itu membuat sejumlah komoditas, termasuk sawit dipersulit masuk Uni Eropa karena alasan lingkungan.

Namun, penerapan aturan tersebut diusulkan diundur selama satu tahun. Airlangga menegaskan Indonesia dan Malaysia sudah memiliki sertifikasi nasional untuk mengatur keberlanjutan di sektor sawit.

EUDR tidak mengakui satu standar yang menjadi acuan. Padahal, Indonesia memiliki Indonesian Sustainable Palm Oil system (ISPO) dan Malaysia punya Malaysian Sustainable Palm Oil system (MSPO). 

"Saya pikir kami lanjutkan pekerjaan untuk mendekati Uni Eropa, dan saya percaya bahwa isu keberlanjutan dan isu standar, Indonesia sebenarnya memiliki ISPO dan Malaysia MSPO. Jadi harus memiliki standar dan pengetahuan yang sama, seperti standar Eropa dan RSPO. Saat ini, bahkan EUDR tidak mengakui RSPO, jadi setidaknya mereka harus mengakui satu standar, tidak bisa terbuka," sambung dia.

Baca juga: Saldo Dana Pungutan Ekspor Sawit Rp30 Triliun Siap Biayai Program B40

Isu lainnya yang dipersoalkan Uni Eropa adalah traceability, atau bagaimana tahapan minyak kelapa sawit dibuka. Menurut Airlangga, Indonesia dan Malaysia sebenarnya siap jika diminta Uni Eropa menyediakan data-data yang dibutuhkan.

"Isu traceability, kita harus setuju dengan mekanisme, karena ada mekanisme yang disediakan di Malaysia dan Indonesia. Kita memiliki dashboard dan sebagainya, meskipun mereka ingin mengambil data langsung produsen, kita tidak mau, tapi jika mereka ingin mendapatkan akses terhadap data tersebut, itu tersedia melalui platform yang telah kita siapkan," papar dia.

Airlangga menegaskan, Indonesia dan Malaysia adalah negara yang berdaulat sehingga negara lain tidak bisa memaksakan aturan hukum mereka diterapkan secara paksa.

"Kita negara yang berdaulat, negara lain tidak bisa mengekspor undang-undang mereka ke negara lain," timpal Airlangga.

Baca juga: Wamendag tak Peduli Larangan Eropa, Ekspor Sawit Jalan Terus!

Sementara Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani menyebut industri besar sawit di Malaysia dan Indonesia sebenarnya siap terhadap EUDR. Masalahnya banyak produsen skala kecil yang perlu diperhatikan.

"Saya diberitahu oleh Pak Airlangga, di Indonesia mereka memiliki 2,5 juta produsen skala kecil. Di Malaysia kita memiliki hampir 450.000 produsen skala kecil," pungkas Johari.

Penulis :
Ahmad Munjin

Terpopuler