Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Logika Efisiensi: Cara Nyinyir, Miskin Pikir Media Sosial Kita

Oleh Ahmad Munjin
SHARE   :

Logika Efisiensi: Cara Nyinyir, Miskin Pikir Media Sosial Kita
Foto: Muhammad Sirod, Fungsionaris Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. (Pantau/Dok. Pribadi Muhammad Sirod)

Pantau Opini - Ada beberapa logika yang disuarakan media dan para pesohor serta para “pesolek publisitas” di negeri ini. Saya sebut begitu karena mereka jarang bicara substansi, tapi lebih ke arah sensasi.

Kondisi itu sedikit banyak membuat saya prihatin dan sedih, betapa memang benar-benar sulit mengajak bangsa ini maju dan berdikari.

Suara-suara kritis yang bermutu seperti anggota dewan Panda Nababan di rapat DPR, cukup membuat perasaan saya terobati. Betapa argumen beliau terhadap petinggi RRI dan TVRI sangat menohok dan membuat langkah-langkah yang manajemen lakukan dengan merumahkan pegawai paruh waktu memang sebenarnya tidak diinginkan Presiden Prabowo dari awal. 

Sebab, tujuan efisiensi yang utama justru sebenarnya adalah membuka lebih banyak lagi lapangan kerja baru. Itulah namanya ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang bagus, setiap investasi berdampak pada pertumbuhan ekonomi, efisien!

Tapi sebelum itu, akun-akun yang kian hari kian ramai seperti ternak bakteri ini berisik menyuarakan soal langkah strategis Presiden Prabowo memecah beberapa kementerian dan menambah jumlah MenKo menjadi lebih banyak.

Baca juga: Meski Anggaran Dipangkas, BNPT Tetap Pertahankan Zero Terrorist Attack

Saban hari mereka sangat nyinyir dan seperti kehilangan isi kepala mereka sendiri. Bahwa kenyataan yang ada padahal memang ada beberapa kasus dibutuhkan pemisahan dan penambahan pos-pos baru di luar kebutuhan politik, bisa terlewat saja dalam pikiran dangkal mereka itu.

Pun, sebagai pemimpin politik bangsa yang besar dengan era multi partai tentunya hal ini tidak bisa dihindari. Media-media kita betapa mudahnya menyandingkan langkah Pak Presiden ini dengan Vietnam, seperti seolah-olah redaktur mereka ini mengidap demensia bahwa Vietnam, China atau Singapura tentu tak bisa disamakan dengan negeri Pancasila yang berbeda jalan dalam pengelolaan ekonominya.

Jika kita memang bersedia melaksanakan ekonomi komando alias strukturalis, maka bolehlah memadankan kita dengan negeri-negeri tersebut. Sangat kapitalistik di depan kapitalis global, tapi sangat komunis dalam hal pengelolaan negara di dalam, mau? Halah, kalian mana bisa hidup!

Kabinet Lebar

Besarnya perhatian Presiden Prabowo kepada seluruh entitas bangsa baik yang sebelumnya terkoyak-koyak karena perbedaan ataupun yang setia bersamanya memenangkan kontestasi adalah sebuah langkah baik yang mesti kita apresiasi dan akui sebagai kebesaran jiwa beliau.

Efisiensi mesti dipikirkan setelah hal ini dijajaki dan ditempatkan dalam koridor yang pas. Jangkauan pemerintahan dengan seabreg masalah yang ada dengan 17rb pulau, 40 provinsi, 400-an kota/kabupaten dengan hampir 300 juta penduduk dikelola oleh 100an pejabat menteri/wamen/kepala/wakil lembaga/badan adalah hal yang sangat wajar.

Baca juga: Mohammad Toha: Perlu Strategi Penyesuaian Anggaran di Tengah Efisiensi Belanja

Tidak serta merta menjadikan hal ini sulit dikelola, bila dalam pemilihan benar-benar dipertimbangkan bobot politis, teknokratis dan keterwakilannya. Kebisingan media sosial terkait hal ini saya kira lebih banyak faktor kekurangpahaman ditambah keawaman akut, lalu terbawa emosi sesaat yang dimunculkan akun-akun jejadian ini tanpa bertanggung jawab memunculkan jati diri sebenarnya (anonimitas).

Padahal, kritik yang berimbang dan mendalam selalu dibutuhkan negeri ini sebagai bagian dari mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Anaknya Makan Gratis, Bapaknya Di-PHK

Narasi ini juga dilontarkan hanya karena 1 pekerja paruh waktu dirumahkan oleh TVRI kemudian viral ke mana-mana, akhirnya merusak susah-payah Presiden dan Menteri Keuangan untuk menyelamatkan mata anggaran demi kepentingan rakyat banyak! 

Syukurlah, kita punya anggota DPR yang kritis sehingga mismanagement dan kesalahan petinggi TVRI dan RRI ini yang sudah dikoreksi secara publik.

Baca juga: Menaker Pastikan Kemnaker Terus Bekerja Optimal Meski Terjadi Efisiensi Anggaran

Tapi sayang sekali, narasi dan stigma buruk ini terus diproduksi dengan tambahan kebencian yang dipelihara.

Sebagai penikmat kontestasi demokrasi yang serius dimulai pemilu 1997, lompat ke 2014, 2019 sampai terakhir 2023 kemarin, saya sering merasa geram karena pemerintah nampaknya membiarkan keriuhan publik ini menjadi semacam hal-hal lazim saja di dunia demokrasi. 

Bila berkaca pada Era Jokowi memimpin, pasti dewan-dewan redaktur media sudah dikonsolidasi, oknum penegak hukum dan para buzzer seperti kompak menyerang balik mereka-mereka yang dianggap berbeda. Pemerintah belum tentu benar, tapi ketika ada rakyat yang berbeda, lazim sekali persekusi itu dijalankan.

Hari-hari ini kita saksikan, gaya kepemimpinan Prabowo benar-benar membiarkan pers dan media sosial benar-benar liberal, bebas sebebas-bebasnya. Ia hanya sesekali menyindir, dan membalas dengan pernyataan dari panggung-panggung yang ada serta door-stop di muka para wartawan. 

Sementara media rajin sekali memproduksi potongan konten-konten parsial (a piece of cake) dari a whole story untuk kemudian di-blow up dan diramaikan oleh netizen-netizen kurang kerjaan.

Baca juga: Optimal Bekerja untuk Rakyat Jadi Komitmen DPR di Tengah Efisiensi Anggaran

Ada sisi positif tentunya, sebagai rakyat kita sangat bahagia pemerintah seperti tak merasa terganggu, tapi di sisi lain, sebagai aktivis yang lama berinteraksi dengan segala macam rezim menurut saya pemerintah terlalu keterlaluan membiarkan dunia media dan media sosial kita begitu semrawut dan gegabah.

Produktivitas perbincangan hendaknya mulai diseimbangkan dengan baik, bisa dimulai dengan memperkuat setiap lembaga/kementrian dengan kehumasan yang kuat dan berdaya. Sehingga, dapat berkomunikasi dengan baik tatkala FDK (fitnah, disinformasi dan kebencian) terus menerus disuarakan oleh mereka-mereka yang sebenarnya memang tidak memiliki niat baik untuk keberlangsungan negeri ini.

Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) barangkali adalah kekuatan pemerintah, tapi ia tak bisa menjadi juru bicara semua lembaga yang dengan permasalahan yang sangat kompleks ini. Tetap dibutuhkan tim internal yang agile, penuh pengamatan pada yang terjadi di lapangan.

Dengan begitu, kehumasan setiap lembaga dapat meringankan beban kerja mereka untuk berhadapan dengan netizen yang terlihat kritis padahal dangkal dan berisik saban hari.

Penulis: Muhammad Sirod, Fungsionaris Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia

Penulis :
Ahmad Munjin