
Pantau - Harga komoditas perkebunan dunia mengalami fluktuasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan puncaknya terjadi pada 2022 akibat pandemi dan konflik geopolitik. Harga sempat menurun pada 2023, tetapi masih berada di atas level sebelum pandemi.
Tren Harga dan Dampaknya pada Indonesia
Bank Dunia memproyeksikan indeks harga komoditas 2024–2025 akan melemah sedikit tetapi tetap 38 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum Covid-19.
Sebagai eksportir utama kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan teh, Indonesia mengalami dampak ganda dari volatilitas harga. Lonjakan harga komoditas meningkatkan pendapatan ekspor, memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga berisiko mengganggu stabilitas jika harga tiba-tiba anjlok.
Harga minyak kelapa sawit (CPO) mencapai rekor 1.276 dolar AS per ton pada 2022, lalu turun 30,5 persen menjadi 886 dolar AS per ton pada 2023. Proyeksi harga CPO pada 2024 naik sedikit menjadi 905 dolar AS per ton sebelum turun ke 825 dolar AS per ton pada 2025.
Harga kakao melonjak 30 persen pada Desember 2024 menjadi lebih dari 10 dolar AS per kilogram akibat cuaca buruk di Afrika Barat dan permintaan tinggi. Produksi kakao global diperkirakan turun 14 persen pada 2023–2024 menjadi 4,2 juta metrik ton.
Harga kopi robusta mencapai titik tertinggi dalam tiga dekade pada Februari 2024 karena kekhawatiran pasokan, sementara harga arabika naik 3 persen. Harga kopi diprediksi melemah pada 2025 seiring dengan pemulihan produksi global.
Harga karet alam mulai pulih dengan kenaikan 12 persen pada 2024 berkat peningkatan permintaan industri otomotif.
Faktor Penyebab dan Strategi Adaptasi
Fluktuasi harga komoditas dipengaruhi oleh kenaikan biaya produksi, gangguan rantai pasok, perubahan iklim, dan kebijakan perdagangan.
Harga pupuk global melonjak 89 persen pada 2021–2022 akibat gangguan pasokan gas alam dan perang Ukraina, menyebabkan petani sawit di Indonesia mengurangi pemupukan dan produktivitas stagnan. Biaya energi dan upah buruh meningkat, mendorong produsen menaikkan harga jual.
El Niño 2023 menyebabkan kekeringan di Asia Tenggara, menurunkan panen robusta Vietnam. Produksi teh India anjlok 30 persen pada 2024 akibat gelombang panas, terendah dalam satu dekade.
Indonesia diuntungkan oleh harga CPO yang tetap tinggi, dengan pangsa pasar 58 persen global. Nilai ekspor CPO dan turunannya meningkat 29,8 persen pada Maret 2024 menjadi 1,56 miliar dolar AS meskipun volume ekspor turun.
Kenaikan harga kakao membawa keuntungan bagi Indonesia meskipun produksi nasional stagnan di angka 200 ribu ton per tahun. Namun, industri pengolahan dalam negeri terpukul karena ketergantungan pada impor biji kakao berkualitas tinggi.
Untuk menghadapi volatilitas harga, Indonesia perlu mempercepat hilirisasi industri, seperti mengolah CPO menjadi biodiesel dan oleokimia untuk meningkatkan nilai ekspor. Adaptasi terhadap perubahan iklim juga diperlukan, seperti penggunaan varietas tanaman yang tahan kekeringan dan pengembangan sistem irigasi berkelanjutan.
Pemerintah perlu memperkuat diplomasi perdagangan untuk melobi aturan keberlanjutan global yang adil bagi negara eksportir berkembang. Stabilitas kebijakan ekspor juga penting untuk menarik investasi di sektor hilir dan memberikan kepastian bagi industri.
Kombinasi strategi hilirisasi, adaptasi iklim, dan diplomasi perdagangan dapat membantu Indonesia menghadapi tantangan di pasar komoditas perkebunan global.
- Penulis :
- Pantau Community