HOME  ⁄  Ekonomi

Klaim Pemerintah Soal Utang Negara di Bawah Batas Maksimal Menjadi Sorotan

Oleh Widji Ananta
SHARE   :

Klaim Pemerintah Soal Utang Negara di Bawah Batas Maksimal Menjadi Sorotan

Pantau.com - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Februari 2018 tercatat mencapai USD357,5 miliar atau setara Rp4,790,5 triliun (kurs Rp.13.400 per dollar AS). Pemerintah menilai jumlah tersebut sama dengan 29-30 persen dari PDB alias jauh di bawah batasan maksimal utang 60 persen terhadap PDB.

Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perkembangan utang harus diperbaharui. Menurutnya, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana.

"Fakta di Eropa ketika krisis utang tahun 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB," ujarnya saat dihubungi Pantau.com, Selasa (20/3/2018).

Bhima melanjutkan, beberapa Negara di Eropa yang memiliki rasio utang di atas 100 persen seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program Bailout Troika IMF. Sementara negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43 persen dan 39 persen masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong.

"Bukan berarti rasio utang irelevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified (terlalu menyederhanakan)," katanya.

Baca juga: Bamsoet Soal Utang Luar Negeri Rp4,361 Triliun: Masih Wajar, Kita Mampu Bayar

Ia menjelaskan, indikator lain yang harusnya dibandingkan adalah rasio pajak tiap negara berbeda. Menurutnya, utang bukan dibayar menggunakan PDB. Sehingga rasio utang terhadap PDB sebenarnya hanya gambaran umum. "Faktanya utang dibayar dengan penerimaan pajak. Sementara rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia hanya 11 persen. Jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara maju. Dengan Negara di ASEAN saja rasio pajak kita salah satu yang terendah, Malaysia sudah 14,2 persen dan Thailand 15,7 persen," ungkapnya.

Dengan penerimaan pajak, sambung Bhima, masih mencapai target bagaimana akan membayar utang ditambah bunga. "Kalau penerimaan pajak kita masih loyo karena rata-rata realisasinya hanya tumbuh 4 persen dalam 2 tahun terakhir, bagaimana membayar utang plus bunganya," paparnya.

"Artinya kalau terjadi defisit maka utang dicicil melalui penerbitan utang baru," katanya.

Baca juga: Utang Luar Negeri Tembus Rp4,361 Triliun, Krisis 1998 di Depan Mata

Bhima memaparkan, sejak 2012 tercatat defisit keseimbangan primer sebesar Rp52,7 triliun. Angkanya tahun 2017 menjadi Rp178 triliun. "Gali lubang tutup lubang, tapi lubangnya saat ini makin dalam," ucapnya.

Ia menilai utang yang terus meningkat berpotensi menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Bhima menganggap, kasus di negara-negara maju yang diteliti Reinhart dan Rogoff mungkin masih jauh dari Indonesia. Tapi menurutnya Indonesia bisa banyak belajar, bahwa secara teori utang yang awalnya berbentuk leverage (mengungkit modal) bisa berubah menjadi resiko yang membahayakan ekonomi.

"Karena saat Pemerintah tahun 2017 lalu menambah 14 persen utang luar negeri, faktanya tidak bisa dipungkiri ekonomi kita hanya tumbuh 5 persen. Kisah ini menyisakan kekonyolan soal ambruknya beberapa toko ritel modern dan indikator lemahnya daya beli masyarakat yang diprediksi masih terjadi hingga 2018 ini," pungkasnya.

Penulis :
Widji Ananta

Terpopuler