
Pantau.com - Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah dan bank sentral per akhir Januari 2018 mencapai USD357,5 miliar atau Rp4,361 triliun dengan kenaikan 10,3 persen. Hal itu mengacu pada kurs rupiah pada APBN 2018 sebesar Rp13.400.
Menanggapi hal itu, Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan ULN sebesar 10,3 persen merupakan sebuah peringatan keras terhadap pemerintah. Ia pun membandingakan hal tersebut dengan retribusi pajak yang diterima.
"Sebenarnya kenaikan ULN ini cukup menghawatirkan dan kurang produktif. Pertumbuhan ULN mencapai 10,3 persen tapi kita cek kinerja penerimaan pajak hanya tumbuh 4 persen rata rata 2 tahun terakhir," ujarnya kepada Pantau.com melalui pesan singkat, Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Baca juga: Kemenkeu Sebut Utang Negera Akan Terus Bertambah Selama Defisit
Rasio pembayaran tersebut, lanjut Bhima, terdiri dari cicilan pokok dan bunga utang terhadap penerimaan pajak tahun 2017 yang sudah mencapai 31 persen. Meningkat drastis dari tahun 2016 yang masih di kisaran 26 persen.
"Kemudian bertambahnya utang juga tidak berkorelasi dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Utang naik, ekonomi hanya tumbuh 5 persen. Ini ada diskonektivitas," paparnya.
Menurutnya utang yang digunakan untuk mengejar pembangunan infrastruktur yang dicanangkan selama tiga tahun belum menampakkan hasil hingga saat ini. Bahkan, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi pada tahun 2016 juga anjlok sebanyak 230 ribu orang.
"Jadi ada yang harus dievaluasi dari bertambahnya utang yang kurang produktif ini," katanya.
Baca juga: Wow! Utang Luar Negeri Indonesia Mencapai...
Selain itu, bertambahnya nominal ULN di saat rupiah lemah kata Bhima, dikhawatirkan menambah risiko kewajiban pembayaran utang pemerintah. Berdasarkan data BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah pada jatuh tempo tahun 218 mencapai USD9,1 miliar yang terbagi menjadi USD5,2 miliar pokok dan USD3,8 miliar bunga.
"Jika gunakan kurs Rp13.400 maka pemerintah wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan kurs 13.700 menjadi Rp124,6 triliun. Ada selisih pembengkakkan akibat currency missmatch sebesar Rp2,7 triliun," jelasnya.
"Jika kondisi pelemahan rupiah berlanjut, imbasnya swasta bisa gagal bayar, mengulang krisis 98. Risiko bagi swasta juga perlu dicermati mengingat tidak semua ULN swasta di hedging. Kalau untuk tahun ini masih tahap lampu kuning alias waspada. Apalagi kalau rupiah trennya melemah sampai akhir tahun," imbuhnya.
- Penulis :
- Widji Ananta