Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Singkong Jadi Prioritas Baru: Pemerintah Siapkan Larangan Impor Terbatas Demi Kedaulatan Pangan dan Energi

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Singkong Jadi Prioritas Baru: Pemerintah Siapkan Larangan Impor Terbatas Demi Kedaulatan Pangan dan Energi
Foto: Singkong Jadi Prioritas Baru: Pemerintah Siapkan Larangan Impor Terbatas Demi Kedaulatan Pangan dan Energi(Sumber: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/pd.)

Pantau - Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk mencapai swasembada pangan dan energi dengan menjadikan singkong sebagai komoditas strategis nasional, di samping padi dan jagung. Presiden Prabowo Subianto mendorong kebijakan ini sebagai bagian dari agenda kedaulatan pangan.

Fokus pada Singkong, Larangan Impor Terbatas Disiapkan

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman bersama Wakil Menteri Sudaryono menyoroti pentingnya perlindungan terhadap petani singkong melalui penerapan larangan impor terbatas.

Singkong tidak hanya menjadi sumber pangan rakyat kecil, tetapi juga bahan baku industri pangan, nonpangan, pakan ternak, dan bioenergi seperti bioetanol.

“Indonesia adalah salah satu dari lima besar produsen singkong dunia,” ungkap Dyah Susilokarti dari Kementerian Pertanian.

Rata-rata produksi nasional selama 2020–2024 mencapai 15,7 juta ton per tahun, namun pada 2024 menurun menjadi 15,1 juta ton. Sementara itu, impor meningkat hingga 277 ribu ton dan ekspor justru melemah.

Petani cenderung menanam varietas berproduksi tinggi, sedangkan industri mensyaratkan kadar pati minimal 24 persen. Perbedaan kebutuhan ini menimbulkan ketimpangan harga di tingkat petani dan efisiensi produksi di tingkat industri.

Produk dari Thailand dan Vietnam dinilai lebih konsisten dan murah oleh industri, sehingga lebih diminati dibanding produk dalam negeri.

Bangun Ekosistem Hulu-Hilir yang Adil dan Berkelanjutan

Larangan impor total akan menguntungkan petani, tetapi bisa memukul industri. Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan larangan terbatas yang adil bagi semua pihak.

Model kemitraan seperti di Lampung bersama PT Umas Jaya dijadikan contoh. Di sana, varietas unggul ditentukan bersama, jadwal tanam diatur, dan petani mendapat pendampingan teknis.

Harga pabrik ditetapkan Rp1.350 per kg, namun di lapangan, banyak petani hanya menerima Rp600–1.000 per kg.

Diperlukan regulasi kemitraan yang mengikat, seperti close loop system, agar hasil panen diserap sesuai harga kontrak.

Prof Sumarno mengusulkan klasifikasi petani menjadi dua: petani industri dan petani pangan. Petani industri harus terdaftar, mengikuti SOP, mendapat pembinaan, dan menjalin kontrak harga dengan industri.

Industri juga diminta terbuka mengenai kebutuhan tahunan singkong agar produksi nasional dapat direncanakan secara terukur.

Dorong Produksi Benih dan Modernisasi Agribisnis

Saat ini tersedia varietas genjah umur 7 bulan seperti Vamas 1, UK 1 Agritan, dan Ukage 1–3 yang bisa menghasilkan hingga 30 ton per hektare dengan kadar pati lebih dari 20 persen.

Namun, penyebaran benih unggul masih terbatas. Pemerintah diminta mempercepat produksi dan distribusi benih melalui koperasi dan kelompok tani.

BRIN tengah mengembangkan varietas unggul baru, tetapi proses ini memerlukan waktu 5–10 tahun dan anggaran riset besar. Pemerintah dinilai perlu meningkatkan alokasi anggaran riset agar swasembada singkong tidak berhenti di wacana.

Produktivitas nasional sebesar 26,17 ton per hektare masih jauh dari potensi optimal. Banyak petani hanya mampu menghasilkan sekitar 17 ton per hektare.

Kesenjangan ini dapat dikurangi melalui penerapan manajemen agribisnis modern, seperti pemupukan presisi, rotasi tanaman, serta digitalisasi produksi dan distribusi.

Petani juga membutuhkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus singkong dengan tenor yang disesuaikan dengan umur panen.

Data kebutuhan industri dan produksi petani akan diintegrasikan dalam neraca komoditas berbasis spasial agar transparan dan mudah diakses.

Swasembada Energi Lewat Singkong, Bukan Impor

Larangan impor singkong diharapkan menjadi titik awal transformasi industri singkong nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

“Industri harus tumbuh dan petani harus untung,” menjadi prinsip utama kebijakan ini.

Dengan dukungan riset, regulasi tepat, dan kemitraan yang adil, singkong diyakini mampu menjadi fondasi kedaulatan pangan dan energi nasional di masa depan.

Penulis :
Aditya Yohan