
Pantau - Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia naik menjadi 49,2 poin pada Juli 2025, meningkat 2,3 poin dari posisi Juni yang berada di angka 46,9.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan kenaikan ini dipicu oleh dinamika kebijakan dalam beberapa minggu terakhir yang meningkatkan optimisme pelaku industri.
"PMI naik karena beberapa minggu terakhir terdapat dinamika kebijakan yang membuat pelaku industri lebih optimistis," ungkap Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif.
Febri menambahkan bahwa PMI Indonesia melampaui beberapa negara seperti Jepang (48,8), Prancis (48,4), Inggris (48,2), Korea Selatan (48,0), dan Taiwan (46,2).
Kesepakatan Tarif dan Perjanjian Dagang Jadi Pemicu Utama
Febri menyebut salah satu pendorong utama adalah kesepakatan tarif dagang yang dicapai dengan Amerika Serikat.
"Berkat kepiawaian Bapak Presiden Prabowo dalam bernegosiasi, Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Hal ini menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional," ujarnya.
Selain itu, kemajuan dalam perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) juga dinilai sebagai langkah pro industri karena membuka akses ekspor yang lebih luas ke pasar Eropa dan mengatasi hambatan ekspor produk manufaktur Indonesia.
Kebijakan lain yang turut memicu kepercayaan adalah revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang memberikan kepastian pada pelaku industri dalam negeri.
Namun, sektor di luar industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) disebut masih menunggu kebijakan lanjutan yang lebih adil dan memberikan kepastian pasar.
Tantangan Masih Ada, Tapi Peluang Terbuka
Dunia usaha juga menunggu kepastian teknis dari negosiasi dengan AS, khususnya terkait non-tariff barriers (NTB) dan non-tariff measures (NTM).
Isu krusial yang menjadi sorotan adalah kemungkinan produk bermerek Amerika tetapi diproduksi di luar AS, seperti China dan India, tetap mendapat fasilitas bebas bea masuk.
"Bagi Kemenperin, hanya barang yang benar-benar diproduksi di wilayah Amerika Serikat yang layak mendapat bea masuk nol persen," tegas Febri.
Sementara itu, pelaku industri juga mencemaskan kelanjutan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya untuk izin edar produk handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT).
Febri menilai kebijakan TKDN justru mendorong investasi dan pembangunan pabrik di Indonesia.
Di sisi lain, survei PMI mencatat sejumlah tantangan di sektor manufaktur seperti turunnya permintaan ekspor, penurunan tenaga kerja, dan kenaikan harga input akibat konflik geopolitik serta pelemahan nilai tukar rupiah.
Meski begitu, Kemenperin tetap melihat adanya peluang untuk dimaksimalkan.
"Kami optimis bahwa melalui kebijakan yang konsisten dan berpihak pada industri dalam negeri, serta menjaga keseimbangan dalam perjanjian dagang internasional, sektor manufaktur Indonesia akan kembali ekspansif," jelas Febri.
Sebagai informasi tambahan, Kemenperin tidak menggunakan hasil survei PMI dari S&P Global sebagai dasar kebijakan resmi.
Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) sebagai acuan utama, yang mencakup sekitar 3.100 perusahaan, dibandingkan PMI yang hanya disurvei dari sekitar 500 perusahaan.
- Penulis :
- Aditya Yohan