billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Banggar DPR Nilai Target RAPBN 2026 Moderat, Ingatkan Pemerintah soal Pajak dan Fiskal Daerah

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Banggar DPR Nilai Target RAPBN 2026 Moderat, Ingatkan Pemerintah soal Pajak dan Fiskal Daerah
Foto: (Sumber: Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah, Jakarta, Selasa (22/7/2025). (ANTARA/HO-DPR RI))

Pantau - Badan Anggaran (Banggar) DPR menilai target dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto cukup moderat dan realistis.

Target Asumsi Makro dan Postur RAPBN

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menjelaskan moderasi itu terlihat dari angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026.

RAPBN 2026 menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun 6,9 persen, serta kurs rupiah Rp16.500 per dolar AS.

Target harga minyak mentah Indonesia dipatok 70 dolar AS per barel, lifting minyak 610 ribu barel per hari, dan lifting gas 984 ribu barel setara minyak per hari.

Menurut Said, angka-angka tersebut merupakan pilihan moderat atau titik tengah dari batas bawah dan atas hasil kesepakatan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) antara Banggar DPR dan pemerintah.

Pilihan ini dianggap realistis karena tahun 2026 akan menghadapi tantangan berat, mulai dari dampak tarif Presiden AS Donald Trump, konflik geopolitik, turunnya daya beli rumah tangga, hingga meningkatnya PHK di sektor manufaktur.

Dalam postur APBN 2026, pemerintah memilih batas atas untuk target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun.

Sementara target belanja negara sebesar Rp3.786,5 triliun diambil dari posisi moderat.

Dengan komposisi tersebut, defisit RAPBN 2026 menjadi lebih rendah dibandingkan tahun 2025, yakni 2,48 persen atau Rp638,8 triliun.

Catatan Pajak dan Belanja Daerah

Said menilai target pendapatan negara yang tinggi patut didukung, tetapi pemerintah harus berhati-hati terutama terkait kebijakan perpajakan.

"Saat ini ada sensitivitas tinggi di tengah masyarakat, terutama sentimen negatif atas pengenaan pajak tinggi yang naik signifikan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diberlakukan banyak pemda," ujarnya.

Ia menyarankan pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal dan memanfaatkan peluang perpajakan global pasca kesepakatan OECD, khususnya dari perusahaan multinasional lintas negara.

Pemerintah juga diminta mengoptimalkan penerimaan dari pajak karbon untuk mendorong transformasi ekonomi nasional yang ramah lingkungan serta meningkatkan penerimaan dari sektor sumber daya alam.

Pada sisi belanja, Said menyoroti pilihan moderat pemerintah yang membuat defisit APBN bisa ditekan di bawah 2,5 persen dari PDB.

Namun, alokasi belanja pusat jauh lebih besar dibandingkan transfer ke daerah dan desa.

Belanja pusat dalam RAPBN 2026 mencapai Rp3.136,5 triliun, naik dari Rp2.701,4 triliun pada 2025.

Sebaliknya, transfer ke daerah dan desa menurun menjadi Rp650 triliun dari Rp919,9 triliun pada 2025.

Said menilai kecenderungan memusatnya anggaran di pemerintah pusat perlu dipertimbangkan ulang, karena kewenangan pemda semakin mengecil pasca berlakunya UU Cipta Kerja.

"Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat," tegasnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf