
Pantau - Pengamat kehutanan Petrus Gunarso menilai bahwa isu negatif yang disebarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional terkait dugaan deforestasi dalam industri kayu Indonesia telah merugikan ekspor produk kayu ke Amerika Serikat, khususnya untuk kebutuhan industri kendaraan rekreasi (recreational vehicle/RV).
Tuduhan Deforestasi Dinilai Tidak Akurat dan Menyesatkan
Isu tersebut berasal dari temuan Earthsight dan Auriga Nusantara yang menuding bahwa perusahaan RV asal AS menggunakan kayu lauan dari Kalimantan yang berasal dari aktivitas deforestasi ilegal.
Namun, Petrus membantah tudingan itu dan menyebut bahwa kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari izin pemanfaatan kayu (IPK), yaitu hasil tebangan legal dari pembukaan lahan untuk hutan tanaman industri (HTI).
"Itu sebenarnya sisa-sisa dari HTI, sampah yang laku dijual lalu diolah. Legal, karena ada IPK. Tapi digambarkan sangat bombastis, seolah-olah hutan alam ditebang habis-habisan untuk pasok Amerika. Padahal kenyataannya tidak begitu," ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa istilah "deforestasi" sering digunakan secara longgar oleh LSM internasional tanpa membedakan antara alih fungsi hutan dan pengelolaan legal.
"Deforestasi itu apa sih? Perubahan tutupan lahan dari hutan ke nonhutan. Kalau dari hutan alam menjadi monokultur, WWF menyebut tetap deforestasi. Tapi, kalau ditanam kembali dengan eukaliptus atau akasia, apa itu masih disebut deforestasi?" katanya.
Industri Kayu Nasional Sedang Terpuruk
Petrus juga memaparkan bahwa sektor kehutanan Indonesia telah menyusut drastis sejak era 1990-an.
Dari sekitar 550 unit Hak Pengusahaan Hutan (HPH), kini hanya tersisa sekitar 200 unit.
Produksi kayu dari hutan alam juga menurun drastis menjadi hanya sekitar 1,6 juta meter kubik per tahun—jumlah yang bahkan tidak cukup memenuhi kebutuhan di Jakarta.
"Kalau (laporan tersebut) tujuannya membunuh industri kayu, mungkin berhasil. Tapi, tanpa laporan itu pun, industri kayu kita sudah megap-megap," ujarnya.
Ia meminta agar laporan The New York Times yang mengangkat riset Earthsight dan Auriga Nusantara ditanggapi secara hati-hati dan objektif.
"Kalau betul kayu itu dari IPK, ya legal. Tidak seharusnya diributkan seolah ini bencana ekologis besar. Industri kehutanan kita memang bermasalah, tapi menyamakan semua aktivitas kayu dengan deforestasi jelas menyesatkan," jelasnya.
Guru Besar IPB: Hutan Bisa Pulih, Asal Tidak Diganggu
Dalam diskusi yang sama, Guru Besar IPB University Sudarsono Sudomo menambahkan bahwa pengusahaan hutan tidak serta-merta menyebabkan deforestasi.
Menurutnya, hutan secara biologis bersifat terbarukan dan bisa pulih secara alami.
"Pengusaha juga tidak mungkin menebang semua karena biaya investasi tinggi. Asal tidak diganggu, hutan bisa pulih sendiri," ujarnya.
Sudarsono juga menyoroti banyaknya regulasi di sektor kehutanan yang justru membebani pelaku usaha.
"Setiap aturan itu hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu tidak masalah. Tapi umumnya aturan justru lebih banyak biayanya daripada keuntungan yang didapat," ungkapnya.
Ia menilai bahwa tanpa investasi baru, industri kehutanan Indonesia akan terus menurun dan sulit bertahan.
"Belum pernah ada bukti di dunia ini pengusahaan hutan alam yang benar-benar berhasil. Tanpa investasi baru, industri kehutanan jelas akan berakhir," tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Yohan