
Pantau - Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani, menyatakan bahwa langkah Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dalam menempatkan sebagian dana awal ke Surat Berharga Negara (SBN) merupakan hal yang lazim dan sesuai praktik lembaga sovereign wealth fund (SWF) di dunia.
Ajib mencontohkan bahwa lembaga seperti Temasek (Singapura), Kuwait Investment Authority, hingga Abu Dhabi Investment Authority juga memulai investasinya melalui instrumen publik seperti obligasi dan saham sebelum mengarah ke proyek sektor riil.
Strategi Ramp-Up dan Manajemen Risiko
Menurut Ajib, strategi ini lazim digunakan oleh SWF pada masa awal atau ramp-up period, sambil menunggu penyelesaian studi kelayakan dan koordinasi proyek-proyek strategis yang akan dibiayai.
Ia menekankan bahwa publik sering salah paham dengan menganggap dana besar dapat langsung dialokasikan ke proyek riil, padahal realisasi investasi semacam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) bisa memakan waktu hingga 6 tahun konstruksi dan 10 tahun untuk mencapai impas.
"Kalau seluruh dana langsung dikucurkan, itu justru berisiko tinggi," tegasnya.
Penempatan dana pada SBN disebut sebagai bagian dari proses normal dalam membangun portofolio dan tata kelola investasi jangka panjang bagi SWF.
Selama masa transisi, investasi di SBN berfungsi menjaga likuiditas dan membantu perputaran uang negara dalam sistem keuangan nasional.
Jangkar Likuiditas dan Instrumen Aman
Dalam konteks Danantara, pemilihan SBN berdenominasi rupiah dilakukan untuk menjaga nilai modal negara tanpa mengambil risiko yang belum terukur.
"Ini langkah jangka pendek untuk memastikan kemampuan jangka panjang," jelas Ajib.
Ia menambahkan bahwa alokasi dana ke pasar publik tidak hanya terjadi di tahap awal, melainkan akan tetap menjadi bagian dari portofolio secara permanen, meskipun proporsinya akan menurun seiring bertambahnya proyek strategis yang dibiayai.
"Ini sudah sangat umum di dunia SWF. Norges, GIC, Temasek, semuanya tetap mempertahankan sebagian portofolio di public markets sebagai jangkar likuiditas dan diversifikasi risiko," ujarnya.
Ajib juga menjelaskan bahwa karakter setiap SWF bisa berbeda, tergantung mandat dan tujuan utamanya—ada yang fokus pada pelestarian modal, dan ada yang menekankan pembiayaan pertumbuhan nasional.
Literasi Publik dan Perluasan Pemahaman
Terkait kritik publik terhadap Danantara, Ajib menilai hal tersebut bisa menjadi momen untuk meningkatkan literasi masyarakat tentang peran dan mekanisme kerja SWF.
Menurutnya, isu teknis seperti sekuritisasi dan penggunaan aset sebagai jaminan pembiayaan lanjutan membutuhkan kanal komunikasi tersendiri agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Ajib menegaskan bahwa semua langkah Danantara dilakukan dalam kerangka tata kelola yang hati-hati dan berorientasi jangka panjang.
"SWF itu bukan lembaga yang mencari untung instan. Mereka menjaga nilai aset negara lintas generasi. Mandat Danantara tetap: membiayai industrialisasi dan memperkuat kemandirian ekonomi. Tapi untuk sampai ke sana, perlu waktu dan proses yang jelas. Dan semua itu sedang dibangun sekarang," tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Yohan