
Pantau - Anggota Komisi IV DPR RI, Dadang M. Naser, menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan harus memperkuat hilirisasi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, khususnya pada sektor pangan.
Pernyataan tersebut disampaikan Dadang dalam Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI Masa Sidang II Tahun Sidang 2025–2026 di Provinsi Bali pada Jumat, 21 November 2025.
Kunjungan ini bertujuan menyerap aspirasi masyarakat dan mendalami substansi RUU Pangan yang tengah dibahas.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Kepala Badan Rekayasa Genetik dan Peningkatan Kualitas Bibit Pertanian (BRMP), Prof. Fadjri Djufry.
Perlindungan Produk Petani dan Diversifikasi Bahan Baku
Dadang menyoroti masih lemahnya perlindungan terhadap produk hilir petani dan kurangnya penyerapan hasil riset dari lembaga pertanian nasional.
"Selama ini kita terus bicara soal kemandirian pangan, tetapi perlindungan terhadap produk hilir para petani belum optimal. Hari ini kita menemukan banyak hal yang bisa masuk dalam penguatan regulasi, terutama bagaimana undang-undang harus melindungi pangan dalam negeri agar kita tidak terlalu bergantung pada impor", ungkapnya.
Salah satu isu utama adalah tingginya angka impor terigu yang mencapai Rp50–57 triliun per tahun.
Dadang mengusulkan agar industri makanan yang menggunakan terigu wajib mencampur bahan bakunya dengan produk lokal minimal 30 persen.
"Ada sorgum, tepung tapioka, tepung sagu, dan tepung beras. Ini bisa dipadukan. Kita tidak boleh membiarkan lidah bangsa kita terlalu bergantung pada terigu impor", ia mengungkapkan.
Potensi Lokal Belum Tergarap Optimal
Data dari Kementerian Pertanian mencatat luas tanam sorgum pada 2024 telah mencapai lebih dari 15 ribu hektare.
Indonesia juga merupakan produsen sagu terbesar di dunia dengan produksi lebih dari 5 juta ton per tahun, namun pemanfaatannya masih rendah karena belum masuk dalam rantai industri utama.
Dadang menekankan perlunya sinergi antar kementerian dalam penyerapan hasil riset pertanian, seperti varietas kelapa unggul BRMP yang mampu berbuah dalam waktu 2,5–3 tahun.
"Jangan sampai kementerian lain masih belanja bibit dari pembenih lama yang kualitasnya tidak terjamin. Temuan BRMP harus dikerjasamakan dan dikembangkan oleh petani pembibit agar bibit yang dibagikan kepada petani betul-betul berkualitas", jelasnya.
Ia juga mendorong ekspor produk pertanian dalam bentuk olahan, bukan bahan mentah.
"Kalau ekspor kelapa, jangan kelapanya yang digulung dan dikirim. Harus dalam bentuk tepung atau turunan lainnya. Begitu juga ubi, ekspor tepungnya, jangan ubinya. Di dalam negeri ada nilai tambah, ada limbah yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan ada lapangan kerja", tegas Dadang.
Isu hilirisasi pertanian ini selaras dengan target nasional untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian hingga 40 persen pada tahun 2030.
Dadang memastikan bahwa seluruh masukan yang diterima selama kunjungan kerja di Bali akan menjadi bagian dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU Pangan.
Revisi RUU tersebut diharapkan mencakup perlindungan produk pangan dalam negeri, kewajiban penggunaan bahan baku lokal, sinkronisasi riset pertanian, pelarangan ekspor bahan mentah, serta pemberian insentif kepada industri yang menyerap hasil pertanian nasional.
"Kita ingin undang-undang ini menjadi payung yang kokoh untuk kemandirian pangan bangsa. Indonesia punya potensi besar, tinggal bagaimana kita memperkuat regulasi dan eksekusinya", pungkas Dadang.
- Penulis :
- Gerry Eka








