Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Harga Bitcoin Tembus 92.000 Dolar AS, Indodax Soroti Kuatnya Daya Beli Pasar dan Dukungan Institusi Besar

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Harga Bitcoin Tembus 92.000 Dolar AS, Indodax Soroti Kuatnya Daya Beli Pasar dan Dukungan Institusi Besar
Foto: Vice President Indodax Antony Kusuma (kiri) memberikan pemaparan terkait aset kripto di Jakarta (sumber: Indodax)

Pantau - Harga Bitcoin kembali menembus level 92.000 dolar AS pada Selasa (2/12) malam hingga Rabu (3/12) pagi waktu Indonesia, menandai pemulihan kuat setelah tekanan pasar sebelumnya yang sempat memicu likuidasi lebih dari 250 juta dolar AS.

Dukungan Institusi Besar Jadi Katalis Kenaikan Harga

Wakil Presiden Indodax, Antony Kusuma, mengungkapkan bahwa kenaikan harga ini mencerminkan kuatnya daya beli pasar terhadap aset kripto, terutama Bitcoin.

"Kenaikan ini didorong oleh menguatnya minat institusi keuangan global terhadap aset digital serta pemulihan sentimen pasar, setelah penurunan tajam akhir pekan lalu," ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa langkah strategis dari sejumlah institusi keuangan ternama menjadi pemicu utama penguatan harga Bitcoin dalam beberapa hari terakhir.

"Penerimaan institusi besar menjadi faktor utama dalam kenaikan Bitcoin. Langkah Goldman Sachs, Vanguard, hingga Bank of America membuka akses lebih luas terhadap produk berbasis Bitcoin telah meningkatkan kepercayaan investor terhadap aset kripto," ia mengungkapkan.

Antony juga menambahkan bahwa dinamika pasar jangka pendek turut berperan dalam pemulihan harga.

"Setelah terkoreksi ke area 83.800-84.000 dolar AS dan memicu likuidasi besar, pasar langsung menunjukkan minat beli yang kuat," jelasnya.

Volume perdagangan global yang meningkat signifikan dalam 24 jam terakhir turut memperkuat rebound ini, mencerminkan respons cepat pasar terhadap level support yang dinilai cukup kuat.

Faktor Makroekonomi dan Proyeksi Ke Depan

Selain faktor internal pasar kripto, sentimen makroekonomi global juga turut berkontribusi terhadap pergerakan harga Bitcoin.

Salah satu faktor pendorong utama adalah berakhirnya program Quantitative Tightening (QT) oleh Federal Reserve (The Fed) pada Senin (1/12).

The Fed menyuntikkan sekitar 13,5 miliar dolar AS melalui operasi repo harian, yang disebut sebagai salah satu injeksi likuiditas terbesar sejak masa pandemi.

Menurut Antony, meningkatnya likuiditas ini biasanya menjadi pendorong bagi aset berisiko seperti kripto, karena tekanan dari kebijakan moneter mulai berkurang.

Saat ini, pasar global tengah menantikan keputusan The Fed dalam pertemuan tanggal 9–10 Desember 2025 terkait kebijakan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin.

Ekspektasi terhadap pelonggaran kebijakan moneter secara historis dikenal sebagai pemicu utama naiknya minat terhadap aset berisiko, termasuk Bitcoin.

Antony menegaskan bahwa meskipun volatilitas masih tinggi, tren terbaru menunjukkan bahwa adopsi institusional terhadap Bitcoin semakin kuat.

"Langkah institusi besar masuk ke aset digital memberikan sinyal positif mengenai penerimaan jangka panjang terhadap Bitcoin," ujarnya.

Namun demikian, ia tetap mengingatkan para investor agar tidak terjebak dalam FOMO dan tetap menerapkan strategi investasi jangka panjang.

Ia merekomendasikan penggunaan metode dollar-cost averaging (DCA) dan disiplin dalam manajemen risiko sebagai pendekatan yang lebih bijak.

Indodax mengimbau investor untuk terus mengikuti perkembangan pasar dan memahami faktor-faktor yang memengaruhi volatilitas aset kripto guna membuat keputusan investasi yang rasional dan tepat.

Penulis :
Shila Glorya