Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

NTB Menuju Kemandirian Energi: Dari Listrik Tanpa Kedip hingga Mimpi Menjadi Produsen Hijau Nasional

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

NTB Menuju Kemandirian Energi: Dari Listrik Tanpa Kedip hingga Mimpi Menjadi Produsen Hijau Nasional
Foto: (Sumber:Sejumlah petugas memantau panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 megawatt peak (MWp) di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Kamis (16/10/2025).)

Pantau - Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) kini menikmati aliran listrik tanpa jeda, di mana gangguan sekecil apa pun langsung dialihkan ke penyulang cadangan hanya dalam hitungan milidetik.

Layanan listrik tanpa kedip ini menjadi simbol ambisi NTB untuk lepas dari ketergantungan sistem energi luar dan menuju kemandirian kelistrikan yang berkelanjutan.

Selama bertahun-tahun, wilayah timur Indonesia seperti NTB hanya menjadi pengguna akhir dalam sistem besar Jawa-Bali, sehingga setiap gangguan di pusat berdampak langsung ke daerah.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan bahwa NTB tidak ingin lagi menjadi beban Pulau Jawa.

Kemandirian listrik dipandang penting, tidak hanya dari sisi pasokan, tetapi juga untuk memperkuat posisi strategis NTB dalam pembangunan nasional.

Potensi Energi Terbarukan Besar, Realisasi Masih Rendah

Listrik menjadi prasyarat utama pelayanan publik, pendorong ekonomi, dan daya tarik bagi investor.

Tanpa pasokan listrik yang andal, pembangunan daerah akan terhambat sebelum berkembang.

Menurut data Dinas ESDM NTB, wilayah ini memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 13.500 megawatt, sementara kebutuhan listrik di Bali, NTB, dan NTT hanya sekitar 1,2 gigawatt.

Sumber energi terbarukan NTB berasal dari matahari, angin pesisir, arus laut di Selat Lombok dan Selat Alas, hingga biomassa dan sampah kota.

Namun hingga kini, kontribusi energi baru terbarukan baru sekitar 5 persen dari total daya mampu sistem kelistrikan NTB.

Sebagian besar pasokan listrik masih bergantung pada pembangkit berbasis fosil dan jaringan interkoneksi luar.

Ketimpangan antara potensi dan realisasi membuat kemandirian energi lebih sering terdengar sebagai slogan ketimbang kenyataan.

PLN telah melakukan berbagai perbaikan teknis, termasuk pemeliharaan jaringan dan peningkatan layanan distribusi, seperti layanan zero down time di kawasan strategis.

Meski gangguan penyulang berkurang dan keandalan sistem meningkat, kondisi tersebut belum cukup untuk menjamin kemandirian energi sejati.

Menuju Produsen Energi Hijau: Tantangan dan Harapan

Keandalan listrik hanya berbicara soal kestabilan aliran, sementara kemandirian menyangkut kendali atas sumber dan distribusi energi.

Rencana pembangunan super grid di kawasan Sunda Kecil ditujukan untuk menjadikan NTB dan NTT sebagai produsen energi hijau, bukan sekadar konsumen.

Bali yang kekurangan lahan pembangkit akan bergantung pada NTB yang memiliki ruang dan sumber daya mencukupi.

Namun untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan investasi besar, regulasi yang jelas, serta infrastruktur transmisi dan penyimpanan energi yang memadai.

Pembangkit berbasis surya, arus laut, dan biomassa harus terhubung dalam sistem distribusi yang terintegrasi dan stabil.

Tanpa dukungan infrastruktur, banyak proyek energi berisiko menjadi monumen tanpa fungsi nyata.

Kemandirian energi harus dipandang sebagai proyek lintas sektor yang melibatkan tata ruang, perizinan, kesiapan SDM lokal, dan penerimaan sosial masyarakat.

Dimensi keadilan juga penting, misalnya melalui program penyambungan listrik gratis bagi warga kurang mampu.

Ketersediaan listrik berdampak langsung pada ekonomi rumah tangga, pendidikan anak, dan kualitas hidup secara menyeluruh.

Pemanfaatan sampah sebagai biomassa menjadi solusi ganda: mengurangi beban sampah sekaligus menghasilkan listrik.

Namun tantangan energi terbarukan adalah sifatnya yang intermiten, seperti ketergantungan pada cuaca, sehingga diperlukan teknologi penyimpanan energi seperti baterai skala besar.

Investasi pada teknologi ini sangat tinggi dan memerlukan dukungan kebijakan jangka panjang yang konsisten.

Tanpa sistem penyimpanan dan pengelolaan yang kuat, proyek energi bersih akan sulit berkelanjutan.

Banyak proyek gagal berfungsi karena kelemahan dalam kelembagaan, pengelolaan jangka panjang, dan kurangnya tenaga ahli lokal.

Pengembangan SDM lokal menjadi kunci: perencana, teknisi, hingga inovator energi harus memahami konteks dan karakter wilayahnya.

Tanpa sumber daya manusia yang memadai, daerah akan tetap bergantung pada pihak luar meskipun energi bersumber dari wilayah sendiri.

Cahaya yang Tak Lagi Bergantung

Kemandirian listrik NTB adalah pilihan strategis, bukan hanya teknis.

Langkah ini sekaligus menjadi upaya untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya energi bersih dan memberdayakan potensi lokal.

Namun, kemandirian energi tidak cukup dengan satu proyek atau kebijakan, melainkan butuh konsistensi dan keberanian mengambil keputusan jangka panjang.

Kantor Gubernur yang tak pernah padam listriknya adalah awal yang baik.

Namun kemandirian baru bisa dikatakan tercapai jika seluruh wilayah NTB menikmati listrik yang andal, bersih, dan terjangkau.

NTB memiliki cahaya matahari, angin, laut, dan sumber daya manusia yang cukup untuk menyalakan dirinya sendiri.

Tantangannya adalah memastikan cahaya itu tidak padam karena langkah yang setengah-setengah.

Kemandirian energi bukan tujuan akhir, melainkan fondasi penting untuk pembangunan daerah yang berdaulat dan berkelanjutan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penulis :
Gerry Eka
Editor :
Tria Dianti