
Pantau.com - Pemerintah diharapkan dapat cepat merespons komitmen investasi dari para investor asing sehingga bisa segera diwujudkan menjadi realisasi investasi di Tanah Air.Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai persaingan untuk menarik investor asing saat ini semakin ketat sehingga kecepatan dalam merespons komitmen investasi yang sudah ada menjadi krusial. Selain itu insentif juga diperlukan untuk memuluskan jalan investasi masuk ke Indonesia.
Baca juga: Meski COVID-19, Investasi di NTB Tak Terganggu
"Kompetisi antar negara dalam memperebutkan investasi makin ketat. Jika ada negara memberikan insentif pajak lebih besar, wajar jika investor lebih memilih berinvestasi di negara tersebut," ujar Tauhid dalam keterangan di Jakarta, Rabu (2/12/2020).Komitmen investasi dari investor asing terus mengalir ke Indonesia bahkan sejak sebelum pandemi. Terlebih, sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan, rencana investasi di Indonesia semakin marak.Pada November ini misalnya dua perusahaan asal Belanda berencana berinvestasi di Indonesia. Perusahaan susu asal Belanda FrieslandCampina akan berinvestasi sebesar Rp4 triliun mulai 2021, sementara produsen pipa global Wavin BV akan berinvestasi senilai Rp1,7 triliun.Gaung rencana investasi ke Indonesia juga sebetulnya sudah sering terdengar sejak awal tahun ini. Uni Emirat Arab, misalnya, berencana menyiapkan dana jumbo sebesar 22,8 miliar dolar AS untuk berinvestasi di Indonesia. Sedangkan Amerika Serikat disebut-sebut akan menambah kucuran investasi ke Indonesia hingga miliaran dolar AS.Namun, komitmen investasi dikhawatirkan hanya akan menjadi janji manis belaka jika tidak direalisasikan. Padahal, investasi bisa menjadi alat untuk menggenjot pemulihan ekonomi nasional dan juga berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru.
Baca juga: Lobi Luhut Lancar, AS Suntik USD2 Miliar untuk SWF Indonesia
Pemerintah sendiri berkomitmen untuk melanjutkan reformasi struktural dalam jangka panjang. Adapun kendala yang dihadapi investor selama ini antara lain perizinan yang lama dan panjang, sulitnya pembebasan lahan, tenaga kerja yang produktivitasnya rendah, dan rumitnya peraturan tenaga kerja.Hal-hal tersebut membuat mahalnya investasi di Indonesia yang tercermin dari Rasio modal tambahan atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi, yaitu di 6,8 atau bisa dibilang tidak efisien.ICOR Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya secara rata-rata tahun 2015-2017. Filipina misalnya memiliki ICOR 3,6, Vietnam 4,1, India 4,2, Malaysia 5, dan Thailand sebesar 6,5.Oleh karena itu, kata dia, pemerintah saat ini sibuk menyiapkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden. Dengan begitu, investor baik investor baru maupun yang telah berkomitmen bisa segera merealisasikan investasi di Indonesia.Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga terus berupaya agar komitmen investasi dapat direalisasikan. Dalam empat tahun terakhir, Indonesia memiliki cadangan investasi yang mangkrak senilai Rp708 triliun.Dari jumlah tersebut, BKPM telah memfasilitasi investasi mangkrak senilai Rp474,9 triliun atau sekitar 67 persen yang di dalamnya termasuk investasi YTL Power Tanjung Jati, Hyundai dan PLTS Terapung di Sungai Cirata. BKPM pun meyakini Indonesia akan menuju babak baru, memenangkan kompetisi investasi khususnya di Asia tenggara, dan global pada umumnya.Kendati demikian investasi pada kuartal ketiga 2020 masih terkontraksi hingga minus 6 persen. Presiden Joko Widodo, kata dia, sempat menyoroti hal tersebut dan juga mengingatkan agar kejadian investor lari ke negara tetangga tidak terulang kembali.
- Penulis :
- Tatang Adhiwidharta