
Pantau - Somaya Shomer, seorang dokter kandungan dan kebidanan berusia 34 tahun, menjalani hari-hari penuh ketegangan di Rumah Sakit Lapangan al-Awda, kamp pengungsi al-Nuseirat, Jalur Gaza Tengah, sembari tetap berjuang menjalankan peran sebagai ibu dari tiga anak di tengah perang yang terus berkecamuk.
Antara Menolong Sesama dan Mengurus Keluarga di Tengah Keterbatasan
Shomer bekerja sekitar 35 jam per minggu, turun dari lebih dari 50 jam saat belum hamil.
Ia membantu para perempuan melahirkan di tengah keterbatasan fasilitas dan ancaman serangan udara, sambil tetap merawat keluarganya yang bergantung padanya.
"Pada kehamilan sebelumnya, saya menikmati setiap tahapnya," ungkapnya.
Namun kali ini, ia justru diselimuti kekhawatiran—tentang kesehatannya, kelangkaan makanan, dan ketidakpastian akibat perang.
Setiap pagi, ia menyiapkan makanan sederhana berupa roti dan sayur untuk keluarga.
"Saya cepat lelah dan tidak bisa mengakses makanan seperti susu atau buah yang dibutuhkan ibu hamil. Kerap kali saya makan porsi kecil yang tidak cukup untuk bayi," ujarnya.
Setibanya di rumah, rasa lelah menyisakan sedikit energi untuk anak-anaknya.
"Bahkan tidur tanpa gangguan atau segelas air bersih menjadi sebuah kemewahan. Terkadang saya tertidur masih mengenakan baju kerja," tambahnya.
Rumah Sakit Jadi Benteng Harapan, Meski Dikepung Krisis
Rumah sakit tempat Shomer bekerja setiap hari menangani lebih dari 200 kasus, jumlah yang terus meningkat seiring membeludaknya pengungsi.
Pasien memenuhi lorong sempit, duduk di kursi plastik, menanti perawatan dengan peralatan medis yang serba terbatas.
Sirene ambulans bergema bersamaan dengan tangisan, sementara tenaga medis mencatat dan menangani pasien dengan sumber daya seadanya.
Perawat Heba Nassar, yang kehilangan rumahnya dalam serangan, menyampaikan: "Banyak rekan kami yang tewas atau mengungsi. Kami bekerja dengan peralatan seadanya untuk memberikan sedikit rasa aman bagi para wanita."
Salah satu pasien, Alaa al-Madhoon (35), yang mengungsi dari Gaza City, juga tengah hamil lima bulan.
"Makanan tidak mencukupi dan perawatan medis tidak memadai. Beberapa wanita bahkan tidak bisa mendapatkan pemeriksaan dasar," keluhnya.
Ia kehilangan saudaranya, Ahmad, dalam serangan lima bulan lalu.
"Jika saya melahirkan anak laki-laki, saya akan menamainya Ahmad," ujarnya penuh haru.
Harapan Tetap Lahir di Tengah Penderitaan
Meski suaminya juga seorang dokter dan mereka kerap harus meninggalkan anak-anak sendirian saat bertugas, Shomer mengaku tetap menjalani semuanya dengan tekad.
Rumah sakit tetap beroperasi setiap hari meski bantuan dari organisasi internasional seperti air kemasan, disinfektan, dan perlengkapan medis hanya tersedia sesekali dan sangat terbatas.
Di ruang bersalin, Shomer mengungkapkan bahwa rasa takut sering berubah menjadi harapan.
"Dengan setiap kelahiran, kami merasa harapan masih ada, bahwa kehidupan lebih kuat daripada kematian," tuturnya.
Konflik di Gaza telah memasuki tahun ketiga dan krisis kemanusiaan terus memburuk.
Data dari otoritas kesehatan Gaza menyebutkan lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk sekitar 20.100 wanita dan 10.400 anak-anak.
Lebih dari 169.000 lainnya mengalami luka-luka.
Namun di tengah semua penderitaan itu, tangisan bayi baru lahir tetap terdengar.
"Setiap anak yang lahir di Gaza adalah pesan bahwa rakyat kami tetap berharap pada kehidupan meskipun menghadapi segala kesulitan," pungkas Shomer.
:
- Penulis :
- Aditya Yohan