billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Geopolitik

China Respons Pernyataan Presiden Filipina Soal Laut China Selatan, Tegaskan Siap Dialog namun Kecam Provokasi

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

China Respons Pernyataan Presiden Filipina Soal Laut China Selatan, Tegaskan Siap Dialog namun Kecam Provokasi
Foto: (Sumber: Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun (ANTARA/Desca Lidya Natalia).)

Pantau - Kementerian Luar Negeri China menanggapi pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dalam KTT ASEAN–Amerika Serikat di Kuala Lumpur, yang menyebut insiden berbahaya terus terjadi di Laut Filipina Barat, bagian dari Laut China Selatan.

China Sebut Filipina Lakukan Provokasi, Tegaskan Komitmen pada Dialog

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menyatakan bahwa Laut China Selatan adalah rumah bersama bagi China dan negara-negara ASEAN, dan perdamaian di kawasan tersebut harus dijaga bersama.

“Laut China Selatan adalah rumah bersama bagi China dan negara-negara ASEAN, dan kita perlu bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di sana. Pelanggaran yang disengaja dan aktivitas provokatif Filipina di laut merupakan akar penyebab ketegangan saat ini,” tegas Guo.

Ia menambahkan bahwa China akan terus menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingannya secara tegas sesuai hukum, namun tetap siap menangani sengketa maritim melalui dialog dan konsultasi dengan Filipina serta negara-negara ASEAN lainnya.

China juga menyatakan komitmen untuk terus mengimplementasikan Declaration of Conduct (DOC) dan mendorong pembahasan Code of Conduct (COC) yang lebih substantif.

“Negara terkait hendaknya sungguh-sungguh menaati ketentuan DOC dan menghentikan pelanggaran, provokasi, dan menakut-nakuti,” ujar Guo Jiakun.

Filipina Soroti Insiden dan Penetapan Cagar Alam di Bajo de Masinloc

Dalam forum tersebut, Presiden Marcos menyampaikan kekhawatirannya atas insiden-insiden yang menurutnya membahayakan keselamatan personel dan kapal Filipina.

“Di Laut China Selatan, sangat disayangkan bahwa insiden terus terjadi di Laut Filipina Barat yang membahayakan nyawa personel Filipina dan membahayakan keselamatan kapal dan pesawat kami,” kata Marcos.

Ia menyebut adanya manuver berbahaya dan penggunaan alat untuk menghalangi aktivitas rutin Filipina di zona maritim dan wilayah udara yang menurutnya sah berdasarkan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Marcos juga menyinggung adanya upaya dari pihak tertentu untuk menetapkan status cagar alam di Bajo de Masinloc atau Scarborough Shoal, yang menurutnya merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Filipina dan hak penangkapan ikan tradisional rakyatnya.

“Hal itu jelas melanggar tidak hanya kedaulatan Filipina, tapi juga hak penangkapan ikan tradisional rakyat kami yang dijamin oleh hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, dan ditegaskan oleh Putusan Arbitrase Laut China Selatan 2016 yang final dan mengikat serta hukum domestik terkait,” tegasnya.

Sengketa Berkepanjangan dan Putusan Arbitrase yang Tidak Diakui China

Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag memenangkan gugatan Filipina dan menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut menjadi hak Filipina untuk mengelola sumber daya lautnya.

Putusan tersebut juga menyatakan bahwa China telah melanggar hak kedaulatan Filipina dan merusak lingkungan laut melalui reklamasi dan pembangunan pulau buatan.

Namun China menolak mengakui putusan itu, dengan alasan Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi dan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip hukum internasional serta isi DOC yang disepakati bersama ASEAN pada 2002.

Sementara itu, ketegangan antara China dan Filipina terus berlanjut, termasuk insiden di Beting Ayungin (Second Thomas Shoal) yang dikuasai China setelah bentrokan dengan Angkatan Laut Filipina pada 2012.

Meskipun demikian, Marcos menegaskan komitmen Filipina untuk tetap mendukung DOC dan mendorong penyusunan COC yang efektif, substantif, dan sejalan dengan hukum internasional.

Penulis :
Aditya Yohan
Editor :
Aditya Yohan