Pantau Flash
HOME  ⁄  Geopolitik

Dua Meja, Dua Bangsa, Satu Perang: Potret Kehidupan di Tengah Gencatan Senjata Israel dan Gaza

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Dua Meja, Dua Bangsa, Satu Perang: Potret Kehidupan di Tengah Gencatan Senjata Israel dan Gaza
Foto: (Sumber : Foto yang diabadikan pada 20 November 2025 ini menunjukkan sebuah boneka diantara puing-puing reruntuhan sebuah rumah yang hancur akibat serangan udara Israel di lingkungan Al-Zeitoun, sebelah timur Kota Gaza. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad.)

Pantau - Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dimulai pada 10 Oktober 2025 menciptakan jeda sementara dalam perang yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun. Namun di balik ketenangan itu, kehidupan warga sipil di Gaza dan Israel tetap dihantui oleh trauma, kehilangan, dan ketidakpastian masa depan.

Di tengah suasana yang belum benar-benar damai, dua meja menjadi simbol dari dua kenyataan yang berbeda—satu di Gaza dan satu di Tel Aviv. Keduanya mencerminkan luka yang sama dalam kehidupan dua bangsa yang masih terjebak dalam konflik panjang.

Meja Belajar di Gaza dan Meja Kosong di Tel Aviv

Mohamed Alazeb, seorang mahasiswa di Gaza, terus berbagi kisah kehidupan sehari-harinya di media sosial. Sejak gencatan senjata dimulai, ia belajar di tenda darurat dengan meja kayu kecil yang sangat rendah. Ia harus membungkuk dan menekuk kakinya saat menulis.

"Belajar di tenda sangat melelahkan dan terasa seperti tantangan yang sia-sia dan tidak menyenangkan," tulisnya. "Namun, saya siap melakukannya."

Sementara itu, di Tel Aviv, Israel, meja-meja kecil disusun menjadi meja panjang di Lapangan Sandera (Hostages Square), menghadap markas militer. Dikelilingi 48 kursi kosong, setiap kursi menampilkan foto seorang sandera yang ditawan militan Palestina.

Sebelum gencatan senjata, keluarga-keluarga berkumpul di sana tiap akhir pekan, meneriakkan tuntutan hingga larut malam: "Gencatan senjata sekarang! Kembalikan mereka semua!"

Dari 48 sandera, 20 orang telah dipulangkan, 25 jasad telah dikembalikan, dan 3 lainnya masih belum ditemukan. Meja itu menjadi simbol kerinduan, harapan, dan kehilangan.

Dua meja—satu untuk belajar, satu untuk berduka—menunjukkan bagaimana satu konflik mempengaruhi dua bangsa secara mendalam.

Damai yang Sementara, Luka yang Mendalam

Bagi sebagian orang Palestina, istilah hudna (gencatan senjata) bukan berarti akhir dari perang, melainkan hanya "ketenangan sementara". “Ketenangan ditakdirkan untuk hancur, selama penindasan masih berlanjut,” kata salah satu warga Palestina.

Seorang teman dari Israel menyebut perdamaian sebagai “jeda antara dua perang”. Dalam pola pikir keamanan nasional Israel, mereka merasa dikelilingi musuh dan selalu bersiap menghadapi konflik berikutnya.

Meski demikian, selama sebulan terakhir, ketenangan relatif memberi harapan bahwa kekerasan telah berhenti—setidaknya untuk sementara.

Para pemimpin politik di kedua pihak mengklaim "kemenangan". Israel menyatakan telah menghancurkan kapasitas militer Hamas, menggulingkan rezim lama Suriah, memukul mundur Hizbullah, dan membatasi ancaman nuklir Iran.

Di sisi lain, Hamas menyebut agresi Zionis berhasil dihalau, Israel dikecam secara global, dan semakin banyak negara yang mengakui negara Palestina.

Setelah Israel mundur dari Gaza City, pasukan keamanan Hamas kembali ke jalan-jalan utama. Tapi kedamaian sejati belum juga datang.

Perang Mengubah Makna Waktu dan Ruang

Seorang jurnalis foto asal Yerusalem yang menulis kesaksian ini menyebut bahwa perang telah mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan.

Ia menjadi sangat sensitif terhadap suara. Mesin mobil bisa memicu kecemasan karena terdengar seperti sirene. Di tempat umum, ia selalu waspada. Di dalam bus, gerakan mendadak, suara asing, atau bayangan bisa membuatnya ingin melarikan diri.

Selama 12 hari konflik Iran-Israel yang paling menegangkan, ia hampir tidak merasa lapar atau mengantuk. Ketika sirene meraung dan ledakan terdengar, justru ia bisa tidur dengan tenang. Hari-hari yang tenang malah membuatnya gelisah.

Banyak tempat dalam ingatannya telah berubah. Situs bersejarah, kafe, toko buku, dan jalur pendakian kini tergantikan oleh lokasi konflik, pangkalan militer, dan reruntuhan akibat rudal.

Sebagai jurnalis, kini ia menulis buku harian. Waktu tak lagi ia ukur dengan kalender, melainkan dengan kekerasan:
“Saat Festival Pertengahan Musim Gugur 2024, Israel menyerang Hizbullah.”
“13 Juni adalah pecahnya putaran kedua konflik Iran-Israel.”
“Tahun ini menandai tahun kedua konflik Israel-Palestina.”

Pada 9 Oktober, saat gencatan senjata akhirnya tercapai, ia menandai tanggal itu di kalendernya dengan sebuah tanda tanya:
“Mungkinkah ini menandai awal dari perdamaian yang kekal?”

Harapan yang Tertahan

Seperti banyak warga Israel dan Palestina lainnya, ia berharap agar permusuhan tidak lagi terulang. Namun ia pun menyadari, jalan menuju perdamaian masih panjang dan sulit.

Jawabannya tidak akan datang dari janji diplomatik atau gencatan senjata sementara, melainkan dari kehidupan sehari-hari yang benar-benar bebas dari gangguan, rasa takut, dan trauma.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Tria Dianti