
Pantau - Ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta Utara bukan cuma bikin heboh sekolah, tapi juga bikin para pejabat buru-buru cari akar masalahnya.
Salah satunya Muhammad Nur Purnamasidi, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, yang ikut membahas kasus ini saat kunjungan kerja ke Pontianak, Rabu (19/11/2025).
Dugaan sementara, siswa pelaku terjebak perundungan dan terlalu rajin mengonsumsi konten gelap dari medsos. Perpaduan yang, sayangnya, makin sering terjadi.
Menurut Purnamasidi, persoalan utamanya bukan sekadar “anak nakal”, tapi lingkungan pendidikan yang makin kehilangan kompas moral.
Ia menggambarkan sekolah seperti ruang besar tanpa figur panutan yang kuat, tempat siswa akhirnya mencari “guru” baru yang munculnya dari layar ponsel.
“Seringkali saya sudah sampaikan, berulang-ulang saya sampaikan bahwa perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan kita terkait dengan kehilangannya referensi nilai dan figur siswa terhadap orang-orang yang terdekat di lingkungan sekolah,” ujarnya.
Lebih Percaya Konten Medsos
Ia menambahkan, anak-anak kini lebih percaya apa pun yang diucapkan kreator konten ketimbang guru yang tiap hari mereka temui.
Media sosial berubah jadi kelas cepat saji yang mengajarkan apa saja, termasuk hal-hal yang mestinya tidak dikunyah mentah-mentah.
“Akhirnya anak-anak mereka lebih lihat, mereka dengar, mereka pahamnya dari media sosial. Ini menjadi referensi nilai kita sekarang,” kata Purnamasidi.
Masalahnya tak berhenti di situ. Purnamasidi menilai pemerintah juga masih gagap menghadapi tsunami konten digital.
Katanya, sampai sekarang belum ada laporan jelas soal konten macam apa yang bikin rusak, apalagi tindakan korektifnya.
“Media sosial tidak ada kontrol yang cukup dari pemerintah untuk mengkanal konten yang mana. Sampai hari ini kita nggak ada laporan konten mana yang merusak, kemudian dilakukan apa oleh pemerintah pun itu belum,” tegasnya.
Singgung Fungsi Guru BP
Ia lalu menyinggung fungsi guru BP. Menurutnya, sekolah mestinya punya radar untuk membaca gejala awal: anak murung, anak dibully, anak menyimpan sesuatu. Namun radar itu tampaknya macet.
“Nggak mungkin tiba-tiba meledak kan yang terjadi di SMA 72. Kalau fungsi guru-guru BP itu berjalan, dia bisa melihat tanda-tandanya. Kayaknya mitigasi melalui guru-guru konseling ini nggak jalan,” paparnya.
Belum selesai, ia juga mengetuk pintu kurikulum nasional. Baginya, sekolah terlalu sibuk dengan akademik sampai lupa bahwa manusia bukan hanya kepala, tapi juga hati dan perilaku.
“Hari ini pertanyaan mendasar, apa sih kurikulum yang mengarahkan anak-anak kita untuk punya kemampuan etika yang baik? Menurut saya, belum ada. Semua ini urusan akademik,” ujarnya.
Purnamasidi meminta pemerintah gerak lebih sigap. Ia menilai penyaringan konten digital harus diperkuat dan mitigasi perilaku berisiko mesti dihidupkan kembali di sekolah.
“Pemerintah harus mulai tetap menyaring konten-konten di media sosial yang berdampak kurang baik bagi anak-anak kita. Karena itu menjadi referensi utama,” pungkasnya.
- Penulis :
- Khalied Malvino



