
Pantau - Tahun 2025 menunjukkan ironi besar dalam hubungan antarnegara: di tengah meningkatnya saling ketergantungan global, kepercayaan antarnegara justru kian menipis.
Meskipun seluruh negara menyadari bahwa tantangan global seperti perang, krisis iklim, pandemi, dan perdagangan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri, praktiknya banyak pemimpin dunia membawa kecurigaan, kalkulasi politik, dan agenda domestik ke forum-forum internasional.
Multilateralisme, sebagai pendekatan kerja sama berbasis aturan dan forum bersama, masih menjadi jargon dalam pidato resmi, namun kerap dihindari dalam implementasi kebijakan nasional.
Forum Multilateral Melemah di Tengah Rivalitas Global
Tahun ini juga menandai ulang tahun ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun lembaga tersebut tampak kelelahan menghadapi tantangan global yang makin kompleks dan cepat berubah.
Konflik geopolitik masih berlangsung, rivalitas antarnegara besar tak kunjung reda, dan kecenderungan untuk menempuh jalur unilateral semakin kuat, menggantikan semangat memperkuat forum multilateral.
Multilateralisme lebih sering dijadikan alat politik daripada tujuan bersama, menyebabkan proses pengambilan keputusan menjadi lambat karena memerlukan kompromi dan waktu yang panjang.
Di sektor ekonomi, multilateralisme juga mengalami stagnasi.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum berhasil memulihkan perannya sebagai wasit perdagangan global yang dihormati.
Alih-alih bekerja sama, negara-negara lebih memilih menerapkan tarif, subsidi, dan kebijakan proteksionis nasional untuk melindungi kepentingan dalam negeri mereka.
Dalam situasi darurat, pelanggaran terhadap aturan pun semakin sering terjadi dengan berbagai pembenaran.
Kehadiran ekonomi digital memperumit tantangan yang dihadapi multilateralisme.
Data lintas negara bergerak bebas tanpa batas, sementara pajak digital global belum mencapai kesepakatan.
Regulasi kecerdasan buatan juga tertinggal jauh dibandingkan dengan kecepatan pengembangan teknologinya.
Meskipun forum-forum internasional telah berupaya mengejar ketertinggalan dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan, membuat deklarasi, dan menyusun rencana kerja, desain birokrasi internasional yang lamban membuat respons menjadi tidak efektif.
Ketika lembaga multilateral berjalan lambat, negara-negara besar mengisi kekosongan tersebut dengan memaksakan standar nasional mereka agar berlaku secara global.
Multilateralisme di Tengah Ketegangan: Peluang dan Tantangan
Isu perubahan iklim menjadi gambaran nyata paradoks multilateralisme.
Seluruh negara mengakui krisis iklim sebagai ancaman nyata dan mendesak, namun komitmen yang disepakati sering kali tidak diwujudkan dalam tindakan konkret.
Negara-negara berkembang menuntut dukungan berupa pendanaan, transfer teknologi, dan ruang untuk tumbuh, sedangkan negara-negara maju berbicara soal transisi energi yang tertib dan bertahap.
Multilateralisme di tahun 2025 belum mati, tetapi mengalami kelelahan akibat banyaknya tantangan yang harus dihadapi dengan tingkat kepercayaan antarnegara yang rendah.
Situasi ini menciptakan krisis legitimasi dalam tata kelola global: aturan dan lembaga masih ada, namun kepercayaan terhadap peran "wasit global" semakin merosot.
Tanpa kepercayaan, aturan internasional kehilangan daya paksa dan efektivitasnya.
Kondisi ini berpotensi menciptakan dunia yang lebih mahal secara sosial dan ekonomi, dengan risiko konflik serta ketidakpastian yang meningkat.
Bagi Indonesia, multilateralisme bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan.
Sebagai negara bukan adidaya, Indonesia membutuhkan pasar global yang stabil untuk perdagangan, kerja sama internasional untuk perlindungan lingkungan, serta forum kawasan untuk menjaga keamanan regional.
Dalam menghadapi situasi global yang kompleks, sikap ekstrem harus dihindari.
Kepatuhan tanpa sikap kritis bisa membuat negara menjadi pasif, sementara pendekatan yang terlalu konfrontatif berisiko menciptakan isolasi.
Yang dibutuhkan adalah multilateralisme yang lentur—yakni tetap berpegang pada prinsip, namun mampu menyesuaikan pendekatan dengan realitas yang ada.
Indonesia perlu tahu kapan harus bersuara dan membangun koalisi, bukan sekadar mengikuti arus.
Dalam konteks ASEAN, meskipun pendekatan konsensus sering dianggap lamban, kehati-hatian ini telah terbukti mencegah konflik besar di kawasan.
ASEAN menjadi contoh bahwa multilateralisme membutuhkan kesabaran, bukan sekadar kecepatan.
Multilateralisme juga harus menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat.
Harga pangan yang terjangkau, lapangan kerja yang aman, serta udara yang bersih adalah manfaat konkret yang harus dirasakan publik.
Jika manfaat tersebut tidak nyata, publik akan mempertanyakan efektivitas forum internasional, konferensi besar, dan deklarasi panjang yang dihasilkan.
Modernisasi institusi multilateral menjadi hal yang tak terhindarkan.
Aturan harus diperbarui, representasi diperluas, negara besar perlu menahan diri, dan negara kecil perlu berani menyuarakan kepentingannya.
Semua negara harus bersedia saling mendengarkan, bukan hanya berbicara.
Tanpa dialog sejati, forum internasional hanya akan menjadi panggung monolog tanpa solusi.
Membangun kerja sama global memang sulit dan melelahkan, namun konflik selalu jauh lebih mahal dan menyakitkan.
Dunia boleh multipolar dan penuh perbedaan, namun tanpa kesepakatan dasar bersama, semuanya akan berjalan dalam ketidakpastian yang berbahaya.
Dalam dunia yang mudah curiga dan cepat marah, multilateralisme tetap menjadi ruang berharga untuk berpikir dan bertindak bersama sebelum konflik berubah menjadi bencana global.
- Penulis :
- Gerry Eka







