Pantau Flash
HOME  ⁄  Hukum

Karier Ketua MK Suhartoyo: Pernah Tersangkut Vonis Bebas Terdakwa Skandal Korupsi BLBI

Oleh Fadly Zikry
SHARE   :

Karier Ketua MK Suhartoyo: Pernah Tersangkut Vonis Bebas Terdakwa Skandal Korupsi BLBI
Foto: Suhartoyo, Ketua MK terpilih menggantikan Anwar Usman (istimewa)

Pantau - Suhartoyo terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Anwar Usman yang dicopot oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Suhartoyo terpilih setelah diskusi empat mata bersama hakim Saldi Isra yang juga diusulkan menjadi Ketua MK.

Sebelum menjadi hakim konstitusi dan terpilih menjadi Ketua MK, Suhartoyo telah malang melintang di dunia peradilan. Namun ternyata bekerja menjadi aparat penegak hukum bukan cita-cita Suhartoyo.

Pria kelahiran Sleman, 15 November 1959 itu awalnya berminat pada ilmu sosial politik dan ingin bekerja di Kementerian Luar Negeri sebagai diplomat. Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik membawanya pada karir menjadi hakim.

“Saya tidak menyesali tidak diterima menjadi Mahasiswa Ilmu Sosial, karena sebenarnya ilmu sosial politik sama dengan lmu hukum. Orientasinya tidak jauh berbeda,” kata Suhartoyo dikutip dari website mkri.id, Kamis (9/11/2023).

Bahkan setelah memilih jurusan hukum, Suhartoyo berminat untuk menjadi seorang jaksa. Namun seorang teman belajar kelompok di kampus mengajaknya untuk ikut mendaftar dalam ujian menjadi hakim, ia pun ikut serta. Ia pun akhirnya lolos menjadi hakim.

“Justru saya yang lolos dan teman-teman saya yang mengajak tidak lolos. Akhirnya saya menjadi hakim. Rasa kebanggaan mulai muncul justru setelah menjadi hakim itu,” ujarnya.

Suhartoyo pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung pada tahun 1986. Selanjutnya ia dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Hakim PN Tangerang (2001), Ketua PN Praya (2004), Hakim PN Bekasi (2006), Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar, Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), dan Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

Saat menjabat sebagai Ketua PN Jaksel inilah Suhartoyo diseret issue tak sedap, yaitu bebasnya salah satu tersangka skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono Timan.

Kala itu Suhartoyo menunjuk majelis hakim yang menangani perkara Sudjiono Timan. Ia mengklaim bahwa ia tidak pernah ikut menyidangkan perkara ini, meskipun adanya investigasi formal dari Komisi Yudisial (KY) atas vonis bebas yang didapatkan oleh Sudjiono dari majelis hakim di PN Jakarta Selatan. Hal ini menjadi salah satu kontroversi pada saat pengangkatan Suhartoyo menjadi hakim konstitusi

Mengenai kontroversi tersebut, Suhartoyo menjelaskan dirinya tidak ingin membela diri. Ia percaya bahwa kebenaran akan datang dengan sendirinya. Dalam posisinya sebagai calon Hakim Konstitusi kala itu, ia telah melewati beberapa tahapan fit and proper test sebelum terpilih.

“Dari soal integritas dan kompetensi, saya kan sudah lolos. Saya sudah percaya dengan panitia seleksi,” ujarnya.

Suhartoyo menjelaskan, bukan ia yang menyidangkan perkara itu di PN Jakarta Selatan. Begitupula isu yang menyebut selama kasus tersebut disidangkan ia telah melakukan perjalanan ke Singapura sebanyak 18 kali dan bertemu dengan adik Sudjiono disebuah pesawat dalam perjalanan ke Singapura. Bulan-bulan itu (Juni-Agustus 2013) merupakan periode pemeriksaan berkas peninjauan kembali Sudjiono Timan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam rentang Juni-Agustus 2013 itu ia memang pergi ke Singapura bersama istrinya. Namun, hanya satu kali untuk keperluan berobat.

Awal Desember 2014, Mahkamah Agung mengumumkan Suhartoyo lolos sebagai hakim konstitusi. Padahal saat seleksi, KY tidak merekomendasikan Suhartoyo. Ini karena Suhartoyo diduga memiliki keterkaitan tertentu dengan pemeriksaan berkas perkara peninjauan kembali Sudjiono Timan.

Sudjiono Timan divonis 15 tahun penjara dalam putusan kasasi Desember 2004. Ketika hendak dieksekusi, Timan melarikan diri dan akhirnya menjadi buron. Pada 2013, Mahkamah Agung membebaskan Timan melalui peninjauan kembali.

“Dewan Etik Mahkamah Agung pun sudah memeriksa paspor saya. Ketika itu saya hanya satu kali terbang ke Singapura. Saya pun pernah mendengar isu akan dipanggil Komisi Yudisial dan sampai sekarang tidak ada panggilan itu. Saya percaya ungkapan pertolongan Tuhan itu dekat apalagi terhadap orang yang difitnah,” katanya.

Penulis :
Fadly Zikry