
Pantau - Sejak 13 Juli 2025, bentrokan berdarah pecah antara suku-suku Arab Badui dan kelompok bersenjata Druze di Suwayda, Suriah selatan, menandai babak baru krisis pascaperang di negara yang masih berjuang memulihkan diri dari konflik berkepanjangan.
Suwayda dan Realitas Pascaperang Suriah
Pemerintah transisi Suriah menyatakan bahwa bentrokan tersebut telah mulai mereda dan gencatan senjata tengah diterapkan secara bertahap.
Namun, laporan dari berbagai sumber menyebutkan jumlah korban tewas mencapai puluhan hingga ratusan orang, mencerminkan eskalasi kekerasan yang serius di tengah rapuhnya tatanan sosial pascaperang.
Kekacauan di Suwayda bukan hanya menunjukkan dampak fisik dan institusional dari konflik berkepanjangan, tetapi juga memperlihatkan krisis yang lebih mendalam: kerinduan masyarakat terhadap martabat, reformasi, dan kepemimpinan yang akuntabel.
Peringatan almarhum ulama besar Suriah, Sheikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, kembali relevan dalam konteks ini.
Ia pernah menyatakan, “Kita harus memadamkan api pertikaian sebelum menghanguskan kita semua, karena bangsa yang berperang dengan dirinya sendiri adalah musuh terbesarnya sendiri.”
Kini, peringatan itu menjadi cermin bagi Suriah yang tengah terperangkap dalam kekosongan politik, kerapuhan negara, dan trauma kolektif akibat perang saudara.
Tidak seperti fase-fase konflik sebelumnya yang dipenuhi intervensi kekuatan asing dan persaingan faksi militer, kerusuhan terbaru di Suwayda menandai kemunculan kembali aspirasi rakyat terhadap perubahan struktural yang lebih mendalam.
Peran Selatan Global: Peluang Baru dalam Pemulihan Suriah
Dalam situasi penuh ketidakpastian dan ketidakpercayaan terhadap hegemoni geopolitik global, negara-negara Selatan Global (Global South) dinilai memiliki posisi unik dan kredibel untuk membantu pemulihan Suriah.
Kelompok seperti BRICS, serta negara-negara demokratis berkembang seperti Indonesia, dapat menawarkan bentuk dukungan yang bersifat inklusif dan non-intervensionis.
Bantuan yang diharapkan bukan dalam bentuk dominasi politik atau militer, melainkan kontribusi nyata untuk membangun kembali institusi sipil, kepercayaan sosial, serta supremasi hukum.
Sejak 2011, warga Suriah pernah merasakan euforia harapan melalui aksi damai yang menuntut perubahan, namun musim semi itu berubah menjadi perang saudara brutal, penindasan sistematis, dan intervensi asing yang memperparah perpecahan.
Hingga kini, meskipun pemerintah Suriah telah menguasai sebagian besar wilayah, struktur negara tetap rapuh dan aspirasi yang dulu dibawa gerakan protes belum sepenuhnya terpenuhi.
Masyarakat Suriah masih menyimpan harapan akan perdamaian yang bermartabat dan pembaruan nasional yang sejati.
Di tengah kekosongan kepercayaan terhadap kekuatan besar dunia, peran aktif dan netral dari Selatan Global bisa menjadi jembatan harapan baru untuk rekonsiliasi dan rekonstruksi Suriah.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf