Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Laporan Debt Justice: China Bukan Biang Krisis Utang, Barat Justru Dominan dalam Skema Ketergantungan

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Laporan Debt Justice: China Bukan Biang Krisis Utang, Barat Justru Dominan dalam Skema Ketergantungan
Foto: (Sumber: Foto yang diambil 3 Oktober 2016 menunjukkan sebuah kereta api yang berjalan di kereta api Ethiopia-Djibouti buatan China selama tes operasional di dekat Addis Ababa, Ethiopia. ANTARA/Xinhua/Sun Ruibo)

Pantau - Narasi yang selama bertahun-tahun digaungkan oleh politisi dan media Barat bahwa China menjebak negara berkembang dalam jebakan utang kini dipatahkan oleh laporan terbaru lembaga amal Debt Justice yang berbasis di London.

Data Ungkap Mayoritas Utang Justru ke Barat

Laporan tersebut menegaskan bahwa isu jebakan utang tidak sekadar menyangkut persoalan finansial, melainkan juga soal struktur kekuasaan global dan kendali atas arah pembangunan negara-negara berkembang.

Berdasarkan penelitian terhadap 88 negara ekonomi berkembang, ditemukan bahwa:

  • 39 persen pembayaran utang eksternal pada periode 2020–2025 ditujukan kepada pemberi pinjaman komersial,
  • 34 persen ke lembaga multilateral,
  • dan hanya 13 persen ke pemberi pinjaman publik dan swasta dari China.

Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar beban utang negara-negara berkembang justru berada di tangan institusi keuangan Barat, bukan China seperti yang selama ini diklaim.

Contoh konkret dalam laporan antara lain Glencore yang menolak memberi keringanan utang kepada Chad, Zambia yang belum mencapai kesepakatan dengan kreditur swasta seperti Standard Chartered, serta Hamilton Reserve Bank yang menggugat Sri Lanka karena menolak restrukturisasi utang.

Tim Jones, Kepala Kebijakan Debt Justice, menegaskan, “Menyalahkan China adalah bentuk pengalihan isu. Justru bank, manajer aset, dan pedagang minyak dari Barat yang lebih bertanggung jawab terhadap krisis utang saat ini.”

Model Tiongkok Dinilai Lebih Fokus pada Pembangunan

Perbedaan mencolok terlihat pada pola pemberian pinjaman.

China menawarkan modal jangka panjang yang berfokus pada pembangunan infrastruktur, sedangkan Barat memberikan pinjaman dengan suku bunga tinggi, syarat politis, dan pelunasan yang kaku.

Pola Barat ini menciptakan ketergantungan struktural dan kerentanan keuangan jangka panjang.

Kebijakan yang dikenal sebagai Konsensus Washington sejak 1989 telah mendorong negara-negara di Amerika Latin untuk memprivatisasi aset, melakukan deregulasi, serta liberalisasi perdagangan dan keuangan sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.

Namun kebijakan itu dinilai justru melemahkan kedaulatan ekonomi dan memicu ketidakstabilan sosial.

Wakil Menteri Luar Negeri Honduras, Gerardo Torres, menegaskan bahwa pinjaman dari Barat selama puluhan tahun “tidak membawa pembangunan nyata” di negaranya.

Sebaliknya, China telah membangun fondasi pertumbuhan jangka panjang melalui investasi nyata, terutama di Afrika:

  • hampir 100.000 kilometer jalan,
  • lebih dari 10.000 kilometer rel kereta api,
  • dan hampir 100 pelabuhan telah dibangun dengan dukungan China.
  • Para pemimpin Afrika pun menyatakan bahwa China adalah mitra strategis, bukan predator.

Inti dari perdebatan soal jebakan utang sesungguhnya adalah pertanyaan mendasar: siapa yang memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan global di abad ke-21?

Menurut laporan tersebut, jebakan yang sebenarnya adalah narasi usang yang menyesatkan dan menutupi ketidakadilan dalam sistem keuangan global saat ini.

Untuk menciptakan tatanan ekonomi dunia yang lebih adil dan berkelanjutan, narasi lama tersebut harus dihapus dan diganti dengan pendekatan yang mengutamakan kedaulatan pembangunan negara berkembang.

Penulis :
Aditya Yohan