
Pantau - Gaza City diselimuti asap pekat pada Rabu (17/9) akibat serangan darat besar-besaran Israel yang disertai tembakan artileri dan serangan udara intensif, memicu gelombang pengungsian dan memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Kota Hantu dan Pengungsian Massal: “Tidak Ada Lagi Tempat yang Aman”
Sebelum serangan, militer Israel menyebarkan pamflet kepada warga Gaza City berisi imbauan untuk segera mengungsi ke wilayah selatan.
Dalam pamflet itu, Gaza City disebut sebagai “zona pertempuran yang brutal.”
Namun, rute evakuasi yang diumumkan tidak banyak membantu warga.
Banyak yang diliputi ketakutan, tidak tahu harus pergi ke mana, dan menghadapi risiko besar dalam perjalanan.
" Kami pikir bagian barat Gaza City akan aman, tapi, pengeboman mengikuti kami ke mana-mana," ungkap Mahmoud al-Zard, seorang warga Gaza berusia 45 tahun yang telah kehilangan rumahnya di Shuja'iyya.
" Tidak ada lagi tempat yang aman," tambahnya.
Al-Zard, yang kini tinggal di tenda perlindungan bersama lima anaknya, kembali terpaksa mengungsi karena serangan semakin mendekat.
" Kami hanya membawa beberapa barang dan air. Kami terus-menerus hidup dalam ketakutan. Setiap tembakan meriam diiringi oleh kedatangan tank-tank yang kian mendekat. Rasanya seperti mati seribu kali sehari," tuturnya.
Distrik Al-Rimal, yang sebelumnya ramai, kini berubah menjadi kota hantu, dengan bangunan hancur dan puing-puing berserakan di jalanan.
Ribuan warga berusaha mengungsi menggunakan mobil, truk, bahkan kereta keledai, diiringi deru sirene ambulans yang terus-menerus terdengar.
Serangan Drone Tewaskan Puluhan, Sistem Kesehatan Gaza Kian Runtuh
Proses evakuasi menjadi taruhan antara hidup dan mati.
Pada Rabu, serangan drone Israel menghantam kendaraan pengungsi di dekat Rumah Sakit Al-Shifa, menewaskan sedikitnya 13 orang.
Sehari sebelumnya, serangan serupa menewaskan lima orang setelah kendaraan mereka terbakar.
Petugas medis menghadapi kesulitan besar menjangkau lokasi terdampak karena serangan udara yang terus berlangsung.
" Kami sering menemukan seluruh keluarga terkubur di bawah puing-puing. Setiap menit penundaan bisa memakan korban nyawa," ungkap Mohammed Samih, salah satu petugas darurat.
Otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa sedikitnya 98 warga Palestina tewas hanya dalam 24 jam terakhir.
Total korban sejak awal konflik telah mencapai 65.062 orang tewas dan 165.697 lainnya luka-luka.
Ancaman Israel dan Respons Hamas: Perang di Ambang Kehancuran Total
Pada Selasa (16/9), Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengeluarkan ultimatum keras terhadap Hamas.
" Jika Hamas tidak membebaskan sandera dan melucuti senjatanya, Gaza akan dihancurkan dan menjadi hamparan nisan," tegasnya.
Hamas mengecam pernyataan itu dan menyebutnya sebagai "babak baru dalam perang genosida dan pembersihan etnis secara sistematis."
Sementara itu, Rumah Sakit Al-Shifa — rumah sakit terbesar di Gaza — kewalahan menerima puluhan korban luka setiap jam.
Para dokter harus bekerja dalam kondisi yang sangat terbatas: kekurangan listrik, bahan bakar, dan peralatan medis.
Direktur jenderal otoritas kesehatan Gaza, Munir al-Bursh, memperingatkan bahwa sistem kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran.
" Foto-foto dari Gaza menceritakan kisahnya. Mayat-mayat di bawah reruntuhan, anak-anak yang dihantui kelaparan dan ketakutan, rumah sakit yang runtuh menimpa staf dan pasiennya," jelasnya.
Ia menyebut situasi ini sebagai "ujian moral dan hukum bagi dunia," menyerukan perhatian dan tindakan segera dari komunitas internasional.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Tria Dianti