
Pantau - Fenomena kematian akibat bekerja berlebihan sudah lama menjadi perhatian di dunia terutama negara Jepang. Selain dikenal sebagai negara yang ekonominya paling efisien, bahkan negara dengan ekonomi pasar industri terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan China, negeri sakura ini memiliki berbagai masalah terkait kesehatan mental masyarakatnya.
Kondisi tersebut tidak jarang memberikan tekanan bagi perusahaan untuk terus menjaga stabilitas kepercayaan pasar dunia akan produk dari negara Jepang. Sebagai negara maju, kualitas individu masyarakat Jepang sudah tidak dapat diragukan lagi. Terbukti berdasarkan data riset worldlantas pada tahun 2018, Jepang menempati urutan ke 6 angka melek huruf dengan persentase sebesar 99%, hal itu memengaruhi kualitas ilmu pengetahun masyarakat Jepang.
Keberhasilan Jepang sebagai negara yang paling mandiri dan tidak tergantung dengan negara lain menjadikan tingkat etos kerja mereka sangat tinggi. Bagi mereka, waktu adalah hal yang sangat berharga. Totalitas mereka dalam mengerjakan sesuatu memang patut diacungi jempol. Perkembangan era digital yang diharapkan menjadi kunci awal perubahan bagi negara Jepang justru menambah beban bagi generasi milenial.
Budaya kerja keras yang mengakar kuat membuat generasi milenial di Jepang terus bekerja keras, karena tidak ingin tenaga dan pikirannya digantikan oleh tenologi terbarukan seperti AI. Kemunculan istilah “Always on culture” menjadi perbincangan baru bagi masyarakat Jepang, dimana keadaaan ini menggambarkan kondisi pekerja diharapkan selalu siap siaga, kapanpun dan dimanapun mereka harus siap ketika ada pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan.
Generasi Milenial dan Tekanan Baru
Generasi milenial Jepang yang diharapkan sebagai agen perubahan budaya kerja, nyatanya terperangkap juga dengan ekspektasi baru ini. Banyak milenial yang bekerja di perusahaan teknologi dan startup harus siap menerima pesanan dari atasan maupun klien walaupun keadaan tersebut diluar jam kerja. Menurut laporan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang pada tahun 2020 melaporkan ada lebih dari 2.000 kematian karena terkena sindrom karoshi.
Berbagai upaya telah dibuat oleh pemerintah Jepang untuk menekan angka kematian warganya karena fenomena karoshi, diantaranya yaitu memperkenalkan “Premium Friday” dan jam kerja fleksibel namun tidak sepenuhnya berjalan mulus, banyak dari generasi milenial yang merasa terjebak antara dua dunia sekaligus sehingga mereka merasa tidak ada ruang privasi untuk istirahat dari pekerjaanya.
Harapan akan perubahan
Meskipun situasi ini begitu memprihatinkan, ada tanda bahwa generasi milenial Jepang mulai bangkit, hal tersebut didukung juga oleh beberapa perusahaan memperkenalkan istilah “work-life balance” yang lebih sehat dengan menerapkan kebijakan setiap selesai bekerja kantor akan memblokir akses email di luar jam pekerjaan.
Kesimpulan
Tekanan yang ada pada negara maju untuk terus memproduksi energi terbarukan terkadang memberikan begitu dampak yang besar. Kacamata dunia mungkin hanya melihat Jepang sebagai salah satu negara yang superior dan paling mandiri soal perekonomiannya, namun ternyata ada masalah yang cukup serius di dalamnya yaitu permasalahan mental masyarakatnya.
Karoshi mungkin tidak dapat sepenuhnya dihapus dalam waktu cepat, namun langkah kecil yang telah dibuat oleh pemerintah hingga perusahaan dapat membantu mengurangi dampaknya bagi generasi milenial di Jepang. Permasalah ini juga menjadi salah satu perbincangan baru di dunia, kematian karena kelelahan bekerja juga terjadi diberbagai belahan dunia Organisasi kesehatan dunia WHO dan organisasi perburuhan dunia (ILO) pada tahun 2021 mencatat bahwa terdapat 750.000 kematian akibat terkena sindrom Karoshi di seluruh dunia.
Laporan: Bayu Aji Pamungkas
- Penulis :
- Latisha Asharani