billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Peningkatan Kasus Hikikomori di Kalangan Gen Z Jepang: Mengenal Dampak dan Konsekuensinya

Oleh Latisha Asharani
SHARE   :

Peningkatan Kasus Hikikomori di Kalangan Gen Z Jepang: Mengenal Dampak dan Konsekuensinya
Foto: Ilustrasi (Freepik)

Pantau - Pada tahun 2022 survei Nasional Jepang menemukan 40,3 persen dari 20.000 responden merasa kesepian setidaknya satu kali dalam setahun. Dilansir dari Detikhealth, angka tersebut meningkat 3,9 persen dari tahun sebelumnya ketika regulasi jaga jarak akibat pandemi COVID-19 berlaku di Jepang. 

Tren tersebut menjadi kekhawatiran pemerintah di Jepang terutama di kalangan usia muda yaitu kisaran usia 20 hingga 30 tahun, karena usia tersebut termasuk usia yang mengalami tingkat kesepian paling tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk isolasi sosial yang parah, yang disebut hikikomori, telah banyak ditemukan di negara Jepang. 

Bentuk kesepian paling ekstrim di Jepang dinamakan hikikomori. Terdapat berbagai pengertian dari para ilmuwan mengenai definisi “hikikomori”. Teo dalam bukunya yang berjudul “A New Form of Social withdrawal in Japan: A Review of hikikomori. International Journal of Social Psychiatry.” menyebutkan bahwa hikikomori merupakan permasalahan yang bisa dialami oleh masyarakat berbagai usia di negara Jepang, di mana masyarakat di Jepang enggan atau bahkan tidak mau untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan hanya mengurung diri di dalam kamar dalam jangka waktu yang cukup lama. 

Baca juga: Generasi Milenial Jepang Terperangkap dengan Budaya Always-on: Karoshi Era AI

Salah satu penyebab dari hikikomori di Jepang adalah  karena orang tua di negeri sakura tersebut mempunyai harapan yang tinggi terhadap keturunan mereka. Misalnya, seorang anak dituntut untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi, mendapatkan universitas terbaik, mendapatkan pekerjaan yang bergengsi, dan menjalani kehidupan yang baik. 

Akibatnya, anak merasa tertekan karena harapan orang tua yang sangat tinggi. Beberapa orang tua bahkan menginginkan anak-anak mereka mengikuti jejak profesi mereka sendiri. Alih-alih menikmati masa muda dengan kegiatan yang menyenangkan, anak-anak justru menghabiskan waktu untuk belajar dengan keras.

Hikikomori tidak hanya ditemukan di lingkungan sekolah, tetapi juga di tempat kerja. Di Jepang, individu yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja sering kali dikucilkan oleh rekan-rekan mereka serta tekanan dari kolega dan atasan. Kondisi inilah yang sering memaksa mereka untuk menarik diri dan mengasingkan diri dari dunia luar.

Dilansir Klikdokter.com, meskipun hikikomori bukan suatu penyakit diagnosis medis secara resmi, banyak orang yang mengaitkannya dengan gangguan kesehatan mental. Lalu bagaimana jika orang tua mendapati anak mengurung diri di kamar terus-menerus, apakah itu termasuk tanda dari hikikomori? Mari kita ketahui ciri-ciri hikikomori! 

Baca juga: 6 Fakta Menarik Tentang Negara Jepang

Apakah Hikikomori Terjadi di Indonesia? 

Dilansir dari RRI.co.id, menurut Dosen Program Bimbingan Konseling (BK), Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Madiun, Chaterina Yeni Susilaningsih M.Pd, hikikomori juga mungkin saja dapat terjadi di Indonesia. Dirinya menambahkan, hikikomori di Indonesia dikaitkan dengan beberapa faktor, diantaranya: 

  1. Tekanan sosial
     
  2. Kesulitan beradaptasi dengan tuntutan masyarakat 
     
  3. Kegagalan dalam mencapai ekspektasi 
     
  4. Masalah kesehatan mental. 
     

Mereka yang terkena dampak hikikomori akan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di rumah, sering kali mengisolasi diri dari interaksi sosial dengan dunia luar. Mereka lebih memilih untuk tinggal di dalam ruangan, menghindari kegiatan di luar rumah, dan menghabiskan waktu berlama-lama di lingkungan domestik mereka. Isolasi ini bisa berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sering kali membatasi aktivitas mereka hanya pada rutinitas sehari-hari di rumah dan mengurangi keterlibatan mereka dengan masyarakat serta lingkungan sekitar.

Baca juga: Simak! Ini Rekomendasi Kegiatan saat Liburan Musim Panas di Jepang

Gejala dan Ciri Hikikomori 

Menurut Kementerian Kesehatan, tenaga kerja, dan Kesejahteraan Jepang, kriteria orang yang memiliki gejala hikikomori diantaranya sebagai berikut: 

  • Seseorang dengan gaya hidup yang berpusat di rumahnya.
     
  • Tidak memiliki ketertarikan ataupun kemauan untuk pergi ke sekolah atau bekerja, anak cenderung akan mengurung diri di kamar.
     
  • Isolasi telah berlangsung setidaknya selama enam bulan berturut-turut.
     
  • Tidak memiliki gangguan mental, seperti skizofrenia, retardasi mental, ataupun lainnya.
     
  • Tidak memiliki relasi dengan orang lain, misalnya pertemanan. 

Mereka yang mengalami hikikomori kerap kali mengubah jam tidur, seperti tidur di siang hari dan bangun di malam hari. Beberapa orang hikikomori ini juga berperilaku tetap berinteraksi jika berhadapan dengan orang asing yang tidak mereka kenal. Mereka juga mampu keluar rumah hanya untuk membeli keperluan dan dilakukan di malam hari. Kebanyakan dari mereka juga bergantung pada finansial keluarga. 

Dampak Hikikomori bagi Individu, Ekonomi, dan Kehidupan Sosial 

Dosen Program Bimbingan Konseling (BK), Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Madiun, Chaterina Yeni Susilaningsih M.Pd juga menambahkan dampak dari hikikomori diantaranya: 

  1. Pada aspek individu dan masyarakat, Individu yang mengalami hikikomori sering mengalami depresi, kecemasan, rendahnya harga diri dan kesulitan dalam membentuk hubungan sosial yang sehat.
     
  2. Pada aspek ekonomi dan kehidupan sosial, akan menjadi beban finansial bagi keluarga, penurunan produktivitas, dan masalah sosial yang timbul karena mereka yang mengalami hikikomori kerap kali kesulitan menemukan pekerjaan. 
     
  3. Mereka sulit menjalin hubungan sosial yang sehat. 
Baca juga: Tips Berwisata dengan Shinkansen di Jepang

Kesimpulan

Hikikomori adalah fenomena sosial yang semakin mendapat perhatian, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi juga di dunia kerja. Terutama di Jepang, individu yang mengalami hikikomori cenderung mengisolasi diri dari interaksi sosial, baik di sekolah maupun di tempat kerja, karena kesulitan beradaptasi, tekanan dari lingkungan, atau harapan yang tidak realistis dari orang tua atau atasan.

Dampak dari hikikomori sangat luas, mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan mental individu yang terlibat. Isolasi yang berkepanjangan dapat mengurangi kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi secara efektif dalam masyarakat. 

Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab dan dampak hikikomori serta mencari solusi yang dapat membantu mereka untuk kembali terhubung dengan dunia luar. Pendekatan yang komprehensif, termasuk dukungan dari keluarga, lingkungan pendidikan, dan tempat kerja, sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan membantu individu yang terkena dampak untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat.
 

Laporan: Aulia Rahma

Penulis :
Latisha Asharani